JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Partai Islam Damai Aman (Idaman), Rhoma Irama menilai adanya ambang batas untuk pemilihan presiden pada 2019 merupakan peraturan yang tidak tepat.
Rhoma menjelaskan, dengan adanya ambang batas, maka partai yang dapat mengajukan calon presiden hanya partai yang jumlah anggota parlemennya memenuhi ambang yang ditentukan berdasarkan hasil pemilu 2014.
Padahal, sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14 Tahun 2013, kata Rhoma, pada 2019 akan digelar pemilihan secara serentak.
Dengan putusan MK soal keserentakan itu, pemerintah pun diminta menghapus ketentuan ambang batas perolehan suara di pemilu legislatif sebagai syarat parpol mengusung calon presiden dan wakil presiden.
"Ini (penerapan ambang batas pilpres) anomali kalau seandainya pilpres dan pileg yang kita lakukan secara bersamaan. Secara rasional ini tidak rasional," kata Rhoma di Asrama Haji, Jakarta (16/5/2017).
Selain itu, Undang-Undang Dasar 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk menjadi presiden. Adanya ambang batas dinilai Rhoma akan menutup hak warga negara tersebut.
"Threshold selain anomali dan tidak rasional, tidak bisa diaplikasikan. Ini tidak relevan," kata Rhoma.
Partai Idaman, kata Rhoma, akan menyuarakan aspirasinya ke DPR agar dalam pemilihan presiden tidak diatur ambang batas.
"Kami meminta pansus agar zero threshold (tanpa ambang batas)," ucap Rhoma.
(Baca juga: Partai Idaman Anggap "Presidential Threshold" Diskriminatif)
Sebelumnya, pemerintah telah menyatakan menolak presidential threshold pada angka 0 persen.
Angka ambang batas yang diusulkan pemerintah yakni parpol atau gabungan parpol yang minimal memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu legislatif sebelumnya.
(Baca: Ini Alasan Pemerintah Dorong "Presidential Threshold" 20-25 Persen)
Alasannya, proses pemilihan calon presiden dan calon wakil presiden memerlukan dukungan riil sebagaimana pemilihan calon anggota legislatif.
Dukungan riil tersebut terlihat dari jumlah suara yang diperoleh partai politik pada pemilu legislatif.