JAKARTA, KOMPAS.com - Muhammad Ridwan, pengacara mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung mencabut gugatan praperadilan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Gugatan praperadilan yang dicabut tersebut terkait penetapan tersangka Syafruddin oleh KPK atas kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Gugatan tersebut dicabut karena pihaknya hendak melakukan perbaikan terhadap gugatan.
"Kita harus sempurnakan," kata Ridwan, kepada awak media usai menjalani sidang di PN Jakarta Selatan, Senin (15/5/2017).
Tersangka Kasus SKL BLBI Gugat KPK melalui Praperadilan
Gugatan praperadilan tersebut didaftarkan tanggal 3 Mei 2017. Namun, pihaknya kemudian menyurati pengadilan untuk mencabut gugatan tersebut karena menemukan bukti baru untuk kasus yang menimpa kliennya.
Ia tidak bersedia menyebut rinci buktinya, namun ada yang berkaitan dengan penetapan tersangka oleh KPK terhadap kliennya.
"Kita akan buktikan penetapan Pak Syaf jadi tersangka itu KPK enggak punya alat bukti ya kan," ujar Ridwan.
"Nah, kaitannya dengan itu informasinya kita belum bisa sampaikan mohon maaf. Tapi nanti setelah permohonan ini dimasukan kita bisa sampaikan," ujar Ridwan.
Sekjen PDI-P: BLBI Diungkit Terus-menerus, Muncul Jelang Pemilu
Pihaknya berencana mendaftarkan ulang lagi gugatan praperadilan terhadap KPK setelah menyempurnakan gugatan pada pekan depan.
"Ya enggak lama-lama, paling lambat minggu depan," ujar Ridwan.
KPK menetapkan Syafruddin sebagai tersangka karena diduga saat menjabat sebagai Kepala BPPN pada 2004, dia mengusulkan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham atau Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004.
Wapres Anggap Korupsi BLBI karena Pelaksanaan Kebijakan
Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun.
Litigasi yang dimaksud adalah membawa penyimpangan penggunaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang dilakukan BDNI di bawah kendali Sjamsul Nursalim ke pengadilan.
Sedangkan restrukturisasi adalah upaya perbaikan cara kepada debitur yang mengalami kesulitan untuk mengembalikan utangnya.
Hasil restrukturisasinya adalah Rp 1,1 triliun dapat dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak, sedangkan Rp 3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi.
Artinya ada kewajiban BDNI sebesar Rp3,7 triliun yang belum ditagihkan dan menjadi kerugian negara.