ARUS pemberitaan di media massa nasional pada Senin (8/5/2017) tiba-tiba melaju kencang. Ini gara-gara muncul berita pemerintah berencana membubarkan organisasi massa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Pemicunya adalah pernyataan dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) yang dilansir pada hari itu juga. Inti dari lima poin pernyataan itu adalah pemerintah berencana melakukan upaya membubarkan HTI.
"Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah hukum secara tegas untuk membubarkan HTI," ujar Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto saat memberikan keterangan pers soal rencana itu, di kantornya, di Jakarta, Senin.
(Baca juga: Pemerintah Bubarkan Hizbut Tahrir Indonesia)
Terlepas setuju atau tidak, pernyataan tersebut bukan hal sederhana bila menyangkut organisasi kemasyarakatan yang telah terdaftar, memiliki badan hukum, dan sudah beraktivitas pula sekian lama di Indonesia.
Tiga peraturan perundangan pun sontak berkelabat terkait kabar ini. Peraturan pertama adalah Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Dua peraturan berikutnya adalah Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pengesahan Badan Hukum Perkumpulan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2016 sebagai aturan pelaksanaan dari UU tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Terlebih lagi, momentumnya berentetan dengan Pilkada DKI Jakarta yang oleh sejumlah kalangan dituding bermuatan SARA. Langkah ini juga tak berjeda waktu lama dengan kembali mencuatnya slogan-slogan soal asas Pancasila di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Rangkaian peristiwa di atas terlalu kasat mata untuk dinafikan oleh siapa saja yang mencermati pemberitaan di media massa dan aliran linimasa media sosial selama setidaknya setengah tahun terakhir.
(Baca juga: Ini Alasan Pemerintah Bubarkan Hizbut Tahrir Indonesia)
Sebelum lebih jauh masuk ke pusaran asumsi dan opini terkait rangkaian peristiwa itu, ada baiknya mencermati dulu tiga regulasi terkait organisasi kemasyarakatan di atas. Sederet pertanyaan sudah muncul dari situ.
Kalau yang dipersoalkan adalah asas atau peran sebagai organisasi kemasyarakatan, HTI lolos memiliki badan hukum. Kok waktu itu bisa lolos?
Untuk mendapatkan “sertifikasi” badan hukum, syaratnya sudah berderet. Di antara syarat itu adalah anggaran dasar/anggaran rumah tangga, yang tentu saja mengharuskan pencantuman asas, kegiatan, dan pernak-pernik administratif lain.
(Baca juga: HTI: Coba Tunjukkan, di Mana Kami Sebut Anti-Pancasila?)
Katakanlah organisasi ini mendapatkan status badan hukum lebih dulu daripada penerbitan regulasi terakhir yang berlaku, kok ya baru sekarang fungsi pengawasannya mendadak begitu kencang?
Baiklah, kilahnya pasti pakai alasan Peraturan Pemerintah yang baru terbit di pengujung 2016. Sudah nyaris hafal dalih klasik “selama belum ada aturan pelaksanaannya, amanah UU tak akan bisa dijalankan seketika, kecuali UU itu sudah komplit mengatur sampai pelaksanaan”.
Jadi pengin pakai kutipan Dian Sastrowardoyo di film Ada Apa dengan Cinta?, setiap kali mendengar dalih itu. “Salah gue? Salah temen-temen gue?”
Halaman berikutnya: Menjawab sejumlah tanya