JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Lembaga Ilmu Pengetauan Indonesia (LIPI), Sri Yanuarti, menyayangkan isu politik identitas kerap digunakan oleh pasangan calon selama Pilkada DKI Jakarta 2017.
Isu tersebut, kata Sri, digunakan oleh semua pasangan calon.
"Untuk putaran kedua, dua-duanya menggunakan, yang satu mengangkat satu identitas agama tertentu, yang satu lagi mengangkat tentang kebinekaan. Kebinekaan kan juga identitas," kata Sri dalam acara Seminar Analisis Pilkada Jakarta 2017 di Gedung LIPI, Jakarta, Rabu (3/5/2017).
Hal tersebut, kata Sri, terlihat pula dari adanya mobilisasi massa secara masif dengan mendengungkan semangat keagamaan tertentu.
Belum lagi, lanjut Sri, cukup masif penggunaan rumah ibadah untuk menggiring opini pemilih untuk memilih berdasarkan identitas keagamaan.
Alhasil, isu-isu terkait program minim dibahas dan dielaborasi oleh masing-masing pasangan calon dari mulai putaran pertama hingga kedua.
"Jadi memang ada upaya politisasi agama digunakan, bahkan untuk menggiring salah satu pasangan calon untuk tak membahas program kinerja, tapi supaya dia menanggapi isu agama itu," papar Sri.
Sri mengatakan, masalahnya sekarang, efek penggunaan politik identitas masih terasa hingga Pilkada DKI selesai. Perpecahan masih terjadi di masyarakat.
"Ini mungkin tidak dipikirkan dampaknya oleh konsultan politik yang menggunakan isu politik identitas. Memang menguntungkan dan cepat, tapi menimbulkan persoalan yang besar," ucapnya.