JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menegaskan hak angket yang ditujukan untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak salah sasaran.
Menurut dia, penggunaan hak angket terhadap lembaga tercantum pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
"Bagaimana caranya ini (KPK) diawasi, apakah dia kena dalam penggunaan hak DPR mengawasi pemerintah? Disepakati kena," kata Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (2/5/2017).
"Siapapun yang melaksanakan UU dan mendapat uang dari APBN bisa kena angket," lanjut Fahri.
(Baca: Kata Fahri Hamzah, Hak Angket DPR untuk Kebaikan KPK)
Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), kata Fahri, mengatur soal independensi.
Namun, independensi tersebut berlaku pada proses penyidikan ketika perkaranya dijalani.
"Kelembagaannya tidak karena dia pakai kewenangan dan keuangan negara," tuturnya.
Bahkan, lanjut dia, KPK membuat Standart Operating Procedure (SOP) yang seolah selevel dengan undang-undang. Penggunaan hak angket terhadap KPK menurutnya adalah hal wajar.
"Rekomendasinya kan bukan cuma ke pemerintah, ke penegak hukum. Kepada lembaga lain, gitu. Cuma itu keputusan angket sifatnya rekomendatif," ucap Fahri.
Usulan hak angket dimulai dari protes yang dilayangkan sejumlah anggota Komisi III kepada KPK terkait persidangan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Alasannya, dalam persidangan disebutkan bahwa politisi Partai Hanura Miryam S Haryani mendapat tekanan dari sejumlah anggota Komisi III.
(Baca: Menurut Zulkifli Hasan, Perlu Ada Lobi Fraksi untuk Batalkan Hak Angket KPK)
Membantah ada penekanan terhadap Miryam, Komisi III pun mendesak KPK membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam untuk membuktikan pernyataan tersebut benar disampaikan oleh yang bersangkutan.
Adapun Miryam kini menjadi tersangka pemberian keterangan palsu dalam kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP.