JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menilai sikap pemerintah terkesan ambigu terkait kebijakan penerapan hukuman mati.
Menurut Wahyu, seharusnya semangat pemerintah dalam membela buruh migran yang terancam hukuman mati juga diterapkan di dalam negeri.
"Seharusnya Pemerintah Indonesia tidak bermuka dua. Di dalam negeri menerapkan eksekusi mati tapi di luar negeri merasa paling depan membela WNI yang divonis mati," ujar Wahyu saat memberikan keterangan terkait evaluasi praktik hukuman mati, di bilangan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Kamis (27/4/2017).
(Baca: Koalisi Masyarakat Tolak Wacana Hukuman Mati Jadi Alternatif)
Wahyu menuturkan, dengan adanya dualisme dan ambiguitas tersebut, arah kebijakan pemerintah terkait hukuman mati menjadi tidak jelas.
Hal itu tentu saja akan menjadi pertanyaan dunia internasional terhadap legitimasi politik dan moral Pemerintah Indonesia.
Sementara, pada awal Mei mendatang, Pemerintah Indonesia akan melaporkan kondisi penegakan HAM secara periodik ke Dewan HAM PBB melalui mekanisme UPR, di mana hukuman mati menjadi salah satu isu yang diangkat.
"Tentu saja ini akan terkait legitimasi politik dan moral," kata Wahyu.
Pada 3 hingga 5 Mei 2017 mendatang, Pemerintah Indonesia akan menyampaikan laporan mengenai kondisi penegakan HAM di bawah mekanisme Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM PBB di Jenewa.
(Baca: Penerapan Hukuman Mati Dinilai Memburuk di Era Presiden Jokowi)
Indonesia merupakan salah satu dari 14 negara yang akan hadir dalam siklus ketiga persidangan UPR Dewan HAM.
UPR merupakan mekanisme inovatif di mana seluruh 193 negara anggota PBB menjalani proses kaji ulang secara sukarela dan berkala terkait situasi HAM di masing-masing negara.