Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penerapan Hukuman Mati Dinilai Memburuk di Era Presiden Jokowi

Kompas.com - 27/04/2017, 12:41 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri menilai kebijakan penerapan hukuman mati semakin memburuk di era pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Menurut Gufron, berdasarkan catatan Imparsial, jumlah eksekusi mati yang dilakukan Jokowi lebih banyak jika dibandingkan pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

"Memang kebijakan hukuman mati memburuk di era Presiden Jokowi. Jumlah yang dieksekusi lebih banyak dilakukan di era Presiden Jokowi jika dibandingkan pada era Presiden SBY," ujar Gufron saat ditemui di kawasan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Kamis (27/4/2017).

Gufron menuturkan, tercatat selama 10 tahun pemerintahan SBY, telah terjadi 21 eksekusi mati. Sementara pada 2,5 tahun masa pemerintahannya, Presiden Jokowi telah melaksanakan 18 eksekusi mati.

"Sebagian besar yang dieksekusi terpidana mati kasus narkoba," tutur Gufron.

(Baca: Jaksa Agung: Eksekusi Mati Pasti, Hanya Waktu Belum Ditentukan)

Pada era kepemimpinan Presiden SBY, Indonesia pernah memoratorium penerapan hukuman mati. Moratoriun hukuman mati dilakukan dalam kurun waktu November 2008 hingga Maret 2013.

Setelah itu, hukuman mati kembali diberlakukan. Lima terpidana mati dieksekusi terkait kasus peredaran narkoba.

Situasi dinilai memburuk pada 2015. Presiden Joko Widodo menyatakan Indonesia dalam keadaan darurat narkoba.

Menurut Jokowi, jutaan orang terkena dampak dari penyalahgunaan narkoba dan merenggut nyawa 40 sampai 50 generasi muda setiap bulannya. Meski demikian, kata Gufron, penerapan hukuman mati tidak diikuti dengan pembenahan sistem hukum pidana.

"Kami masih menemukan banyak praktik unfair trial dan penyiksaan terhadap terpidana mati," kata Gufron.

(Baca: Kontras: Kejagung Ambisius Lakukan Eksekusi Mati, tapi Tak Ada Evaluasi)

Hal senada juga diungkapkan Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Puri Kencana Putri.

Puri mengatakan, isu hukuman mati selalu terkait dengan pelanggaran HAM sebab Kontras menemukan kecacatan hukum dalam setiap praktik eksekusi mati. Menurut dia, eksekusi mati mengandung elemen penyiksaan. Terpidana mati kerap mengalami penyiksaan sebelum hukuman dijalankan.

"Ketika terpidana mati mengalami proses pemidanaan tanpa kepastian kapan dieksekusi itu sudah masuk ke dalam kategori penyiksaan," tutur Puri.

(Baca: Kata Jaksa Agung, Ada Kepentingan Lebih Besar Dibanding Eksekusi Mati)

Di sisi lain, Kontras juga menemukan kesalahan prosedur hukum di pengadilan dalam menjatuhkan vonis mati. Salah satu contoh kasusnya, vonis mati terhadap seorang anak di bawah umur, Yusman Telambanua di Nias.

Yusman ditangkap pada 2012 atas tuduhan melakukan pembunuhan berencana terhadap tiga orang. Kemudian Kontras berhasil menemukan fakta bahwa Yusman masih di bawah umur dan menganulir putusan pengadilan.

"Hukuman mati juga menyasar anak di bawah umur. Bagaimana kemudian hukuman mati juga bisa menyasar anak. Kasus Yusman Telambanua misalnya," kata Puri.

Kompas TV Seskab Nyatakan Eksekusi Harus Dilakukan
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Nasional
Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Nasional
Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Nasional
Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited  Capai Rp 17,43 Miliar

Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited Capai Rp 17,43 Miliar

Nasional
KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

Nasional
Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Nasional
Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Nasional
Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Nasional
Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Nasional
KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

Nasional
Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Nasional
Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Nasional
Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Nasional
PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com