oleh: Retno LP Marsudi
Perdamaian jarang diceritakan dibandingkan dengan konflik dan peperangan". Kutipan itu sangat pas untuk menceritakan perjalanan ASEAN, sebuah asosiasi yang pada tahun ini berusia 50 tahun.
Keberhasilan ASEAN dalam menciptakan perdamaian dan kesejahteraan di kawasan jarang disinggung. Sebaliknya, banyak orang bertanya apa yang telah dicapai ASEAN dalam 50 tahun ini. Bahkan, ada pula yang menanyakan, apa manfaat ASEAN bagi Indonesia? Mampukah ASEAN bertahan hidup di era di mana ketidakpastian telah menjadi "a new normal"?
ASEAN dan ekosistem damai
Konflik dan perang di sudut dunia mana pun tidak pernah lepas dari sorotan media. Konflik baru muncul. Konflik lama tidak mudah diselesaikan. Penyelesaian militer bukan merupakan hal yang tabu dilakukan.
Dunia saat ini dihantui oleh pesimisme yang cukup kental. Pesimisme mengenai perdamaian. Pesimisme mengenai ekonomi yang semakin tertutup atau proteksionis.
Dunia seolah lupa bahwa ada suatu kawasan, Asia Tenggara, yang dalam 50 tahun mampu menciptakan ekosistem perdamaian. Bukan saja perdamaian yang dinikmati oleh sepuluh negara anggota ASEAN, melainkan juga dinikmati oleh hampir separuh penduduk dunia yang tinggal di wilayah sekitar Asia Tenggara.
Membuat suatu ekosistem damai di Asia Tenggara bukanlah hal yang mudah. Kesepuluh anggota ASEAN sangat berbeda satu sama lain, mulai perbedaan dari segi kemajuan ekonomi hingga perbedaan sistem politik. Kebinekaan ASEAN juga dapat dilihat dari keragaman agama yang dianut masyarakatnya. Di Asia Tenggara terdapat komunitas Muslim, umat Kristen, Buddha, dan Hindu. Dari sisi etnik juga menunjukkan spektrum keragaman yang sangat luas.
Saya kira hanya di Asia Tenggara perbedaan seperti ini dapat hidup berdampingan relatif damai. Perkiraan beberapa ahli, bahwa karena perbedaan ini akan membawa "balkanisasi" di Asia Tenggara, sampai sekarang tidak terjadi. Dugaan yang meleset ini patut kita syukuri.
Kekhawatiran terhadap "balkanisasi" ini tak berlebihan. Sejarah Asia Tenggara pernah diwarnai konflik Indonesia-Malaysia, Singapura-Malaysia, Vietnam-Kamboja, dan Thailand-Kamboja. Berbagai konflik itu pada akhirnya dapat diatasi.
Lebih jauh lagi, ASEAN dalam 50 tahun ini telah mampu menyediakan platform melalui berbagai ASEAN-led Mechanism, seperti ASEAN Regional Forum (ARF) dan East Asia Summit (EAS), untuk membantu kekuatan-kekuatan besar bertemu dan berdialog. Di sinilah sentralitas ASEAN berfungsi dan dihargai. Hanya ada satu organisasi kawasan, yaitu ASEAN, yang pada satu platform dapat mempertemukan semua kekuatan besar, seperti AS, Rusia, China, India, Korea Selatan, Jepang, dan Australia pada saat yang bersamaan.
ASEAN-led Mechanism ini tanpa disadari telah menumbuhkan dan mempertebal budaya dialog. Dan budaya ini menjadi barang langka yang sangat mahal saat ini. Penghormatan dan pemajuan hak asasi manusia serta tata pemerintahan yang baik juga merupakan faktor penting dalam ekosistem damai tersebut.
ASEAN dan ekosistem kesejahteraan
Kebinekaan ASEAN juga terjadi pada tingkat kemajuan ekonomi. Produk domestik bruto per kapita Singapura mencapai 53.053 dollar AS (2016), sementara Kamboja baru mencapai 1.228 dollar AS dan Laos 1.307 dollar AS.
Terlepas dari tingkat PDB yang cukup berjarak tersebut, ekosistem perdamaian dan stabilitas yang diciptakan ASEAN telah memacu pertumbuhan ekonomi negara anggota lebih baik daripada rata-rata pertumbuhan dunia. Data Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menyebutkan bahwa Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi 5,2 persen, Filipina 6 persen, Kamboja 7,1 persen, Laos 7 persen, Myanmar 8,2 persen, dan Vietnam 5,9 persen, di atas rata-rata dunia sebesar 3,1 persen (Dana Moneter Internasional, Januari 2017).
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.