JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mengupayakan pengembalian aset negara dalam kasus dugaan korupsi terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Para pelaku akan dijerat dengan dengan pasal pencucian uang dan pidana korporasi.
"Aset recovery nanti akan dilakukan dengan TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang). Nanti diterapkan masalah tentang korporasi. Setelah di tracing ke perusahaanya nanti akan masuk," ujar Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, dalam jumpa pers di Gedung KPK Jakarta, Selasa (25/4/2017).
KPK menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Temenggung, sebagai tersangka. Penetapan ini terkait penerbitan SKL dalam BLBI.
Dalam penyelidikan, KPK menemukan adanya indikasi korupsi dalam pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004.
(Baca: KPK Belum Lihat Instruksi Megawati terkait BLBI Langgar Hukum)
SKL itu terkait pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh sejumlah obligator BLBI kepada BPPN.
KPK menduga Syafrudin telah menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, yang telah menyebabkan kerugian keuangan negara sekurangnya Rp 3,7 triliun.
Menurut Basaria, Sjamsul sudah menerima SKL dari BPPN, meski baru mengembalikan aset sebesar Rp 1,1 triliun, dari yang seharusnya Rp 4,8 triliun.
KPK akan mengumpulkan data-data keuangan untuk menelusuri aset negara yang diduga telah berubah bentuk.
Selain itu, KPK akan mengikuti aliran dana mulai dari pemberian Bank Indonesia kepada obligor.
KPK juga akan menelusuri jumlah kick back atau keuntungan uang diperoleh Syafrudin dalam penerbitan SKL.
"Kewenangan KPK berdasarkan undang-undang adalah mengembalikan aset yang hilang akibat tindak pidana korupsi. Itu adalah prioritas KPK," kata Basaria.