JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiansyah mengatakan, penggunaan media sosial selama penyelenggaraan pemilu harus diatur secara tegas seperti halnya aturan kampanye melalui lembaga penyiaran.
Hal tersebut diperlukan untuk menghindari potensi penyalahgunaan media sosial sebagai alat penyebar isu berdasarkan SARA dan kampanye hitam.
"Pengaturan soal medsos (media sosial) harus bisa diatur secara tegas meski bukan produk jurnalisme. Seperti lembaga penyiaran itu kan diatur," ujar Ferry dalam diskusi "Perspektif Indonesia" di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (22/4/2017).
Ferry menuturkan, selama ini tidak ada perundang-undangan yang mengatur penggunaan media sosial selama pilkada.
Sehingga pihak penyelenggara pemilu tidak bisa bertindak jika ditemukan adanya indikasi penyelewengan masa kampanya di media sosial.
Meski demikian, pada pilkada serentak 2017 lalu, KPU mengeluarkan peraturan bagi pasangan calon untuk mendaftarkan akun media sosial tim kampanyenya.
"Memang ada kekosongan hukum. Media sosial tidak diatur secara tegas. Padahal dunia maya bergerak secara liar," kata Ferry.
(Baca juga: Ketua Komisi II Sebut Tugas KPU di Pilkada 2018 Semakin Berat)
Pada kesempatan yang sama, anggota Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu Viva Yoga Mauladi mengatakan, pengaturan mengenai media sosial tengah dibahas dalam pembahasan RUU Pemilu.
Menurut Viva Yoga, penggunaan media sosial sebagai sarana kampanye perlu diatur karena mempengaruhi perilaku pemilih sebesar 30-40 persen.
Rencananya, sanksi yang akan diterapkan dalam aturan penggunaan media sosial akan mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE.
"Penggunaan medsos pasti akan diatur dalam UU Pemilu. Medsos mempengaruhi perilaku pemilih sebesar 30-40 persen," ujar Viva Yoga.
(Baca juga: Pembahasan RUU Pemilu Kemungkinan Diperpanjang)