JAKARTA, KOMPAS.com - Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai sikap DPR yang fokus pada pembagian jatah kursi pimpinan DPR dan MPR layak disesalkanm bahkan dikutuk.
Saat ini, DPR tengah melakukan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Salah satu poin yang bakal direvisi berkaitan dengan penambahan kursi pimpinan DPR/MPR.
Beberapa waktu lalu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) meminta satu kursi pimpinan DPR dan satu kursi pimpinan MPR.
(Baca: PDI-P Ingin Penambahan Kursi Pimpinan DPR/MPR Segera Disahkan)
Sebagai partai pemenang pemilu, PDI-P merasa layak mendapatkan kursi pimpinan parlemen.
Namun, seiring berkembangnya dinamika dalam pembahasan, penambahan kursi pimpinan kemungkinan akan lebih dari satu.
Peneliti Formappi Lucius Karus menuturkan, kursi pimpinan menjadi salah satu isu utama yang kerap membuat DPR larut dalam pro-kontra.
Padahal, catatan prestasi DPR terbilang buruk. Selain itu, jika dilihat dari aspek strategis jabatan pimpinan DPR menurutnya hanya mentereng secara protokoler dan fasilitas.
"Untuk soal memperjuangkan kepentingan rakyat jelas tak ada bedanya antara anggota DPR biasa dan pimpinan," ujar Lucius saat dihubungi, Jumat (21/4/2017).
"Akan tetapi nampaknya kelas anggota DPR kita masih kelas-kelas yang suka sok mentereng. Mentereng karena protokoler pimpinan memang beda dari anggota DPR lain. Dengan aksesoris khas pejabat negara, mereka merasa baru bisa menikmati hidup," kata Lucius.
Pimpinan DPR dan MPR hanya bertugas menjalankan fungsi koordinasi dan menjadi perwakilan lembaga dalam berhubungan dengan institusi lain atau sebagai juru bicara.
Jika fokus utama seorang anggota DPR adalah untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, maka jabatan tersebut justru tak strategis untuk diperebutkan.
(Baca: Golkar: Wacana Penambahan Pimpinan DPR Kesepakatan Lama)
Bahkan, dengan semakin banyaknya anggota yang duduk di kursi pimpinan, semakin banyak anggota DPR yang terbebas dari kerja berat melakukan rapat-rapat pembahasan undang-undang di komisi.
"Jadi semakin banyak yang menjadi pimpinan, malah membuat banyak anggota serasa "nganggur" dari pekerjaan pokok mereka sebagai wakil rakyat," tutur dia.
Kerja pimpinan, lanjut Lucius, juga banyak diisi dengan urusan seremonial yang kemanfaatannya tak jelas. Meski begitu, hal itu justru dianggap penting oleh partai-partai.
"Ini rupanya yang membuat fraksi-fraksi merasa penting untuk mempunyai seorang wakil di singgasana pimpinan," kata dia.
Kekeliruan sejak awal
DPR seolah tak lepas dari perdebatan pro-kontra kursi pimpinan sejak awal periode 2014-2019.
Diawali dengan penetapan lima pimpinan DPR dan MPR yang ditentukan berdasarkan sistem paket.
(Baca: Revisi UU MD3 Segera Dibahas, PKB Tetap Upayakan Jatah Kursi Pimpinan)
Padahal, pada periode sebelumnya penetapan didasarkan pada peringkat hasil pemilu legislatif.
Alasan PDI-P meminta kursi pimpinan atas dasar sebagai partai pemenang pemilu dinilai logis.
Namun, Lucius menganggap alasan tersebut tetap tak bisa menyembunyikan nafsu kekuasaan di balik usulan tersebut.
Jika niat PDI-P merupakan sesuatu yang murni didorong oleh semangat penguatan lembaga DPR, kata dia, mestinya perjuangan untuk memastikan pemenang pemilu mendapatkan jatah kursi pimpinan sudah dilakukan dalam proses pembahasan RUU MD3 2014 lalu.
"Nyatanya mereka gagal memperjuangkan itu pada proses pembahasan awal," kata Lucius.
Sekalipun ada keinginan untuk mengubah MD3 terkait jatah kursi pimpinan bagi partai pemenang, seharusnya dilakukan untuk periode selanjutnya.
(BacA: Substansi Revisi UU MD3 Diprediksi Akan Meluas)
Dengan adanya sejumlah perdebatan soal jatah kursi pimpinan dalam proses pembahasan RUU MD3, Lucius menilai semakin mempertegas tidak ada urgensi untuk melanjutkan pembahasan.
Fungsi legislasi DPR, kata dia, tak boleh diabdikan untuk kepentingan fraksi dan anggota DPR saja.
"Artinya pembahasan legislasi harus memperlihatkan kepentingan rakyat yang diwakili dalam proses tersebut," tutur Lucius.