oleh: Miftah Thoha
Beberapa bulan lalu saya diundang dengar pendapat oleh Komite 1 Dewan Perwakilan Daerah membahas rencana undang-undang tentang etika pemerintahan. Suatu rancangan yang bagus sekali kalau hal semacam itu bisa diwujudkan dan dilaksanakan.
Mengatur tata etika bukanlah upaya yang mudah walaupun sebenarnya etika itu telah bertebaran di beberapa perundangan yang ada. Tidak mudahnya hal itu dapat dilihat dari kejadian akhir-akhir ini di Dewan (DPD) sendiri.
Sebagai contoh, belum sampai rancangan itu ditindaklanjuti lebih jauh tiba-tiba kita semua menyaksikan keributan yang memalukan dilakukan oleh anggota Dewan berdemonstrasi di forum paripurna DPD. Anggota DPD berselisih berebut posisi pimpinan; suatu posisi kekuasaan yang seharusnya dilakukan secara etis, bukan menonjolkan kekuasaan yang politis.
Terasa akhir-akhir ini persoalan praktik etika dalam pelaksanaan administrasi negara kita menjadi pertanyaan. Banyaknya pejabat, baik di lembaga birokrasi pemerintah maupun di lembaga perwakilan dan kehakiman, yang tidak lagi menjadikan etika sebagai pertimbangan untuk bertindak dan membuat keputusan. Keterlibatan mereka dalam perkara korupsi jelas sekali selain melanggar hukum juga telah melanggar tata etika pemerintahan yang baik.
Kejadian keributan di DPD, seperti disinggung di atas, sungguh sangat memalukan hati rakyat. DPD sebagai suatu lembaga perwakilan daerah telah mempraktikkan warna politik yang seharusnya bukan warna sesungguhnya. DPD lembaga perwakilan yang mewakili golongan daerah sebagaimana UUD 1945 dahulu menyebutnya bukan mewakili golongan partai politik. Dengan menampilkan perilaku keributan di forum sidang tersebut telah tercium sangat tajam bau politiknya.
Kemerdekaan politik
Mengatur etika pemerintahan bukanlah hal yang ringan, sementara kemerdekaan politik dalam pemerintahan yang demokratis merupakan warna yang kuat dan tajam. Selama era reformasi ini kelihatannya masalah ini belum pernah ditata dengan baik.
Pemerintahan yang demokratis yang ditonjolkan akhir-akhir ini-dengan menunjukkan adanya kemerdekaan berbeda pendapat-tanpa dilambari etika berbeda pendapat. Berbeda pendapat adalah keniscayaan dalam demokrasi, munculnya bermacam-macam partai politik yang menunjukkan perbedaan adalah warna dari sistem demokrasi. Demonstrasi wakil rakyat di lembaga yang dibiayai uang rakyat sulit untuk bisa ditangkap-dalam pandangan dan pikiran rakyat-bahwa pemimpinnya berperilaku dan beretika politik yang terpuji.
Sejak diciptakan UU terkait kebebasan berpendapat (UU No 40/1999 tentang Kebebasan Pers) dan diikuti dengan disahkan UU politik (UU No 2/1999; UU No 3/1999; dan UU No 4/1999), maka seakan-akan kemerdekaan berpolitik sangat maju. Profesi politik yang dilakukan oleh partai politik memberikan harapan bagi kehidupan rakyat. Wakil-wakil mereka di lembaga perwakilan disebut sebagai pejabat negara yang lengkap menyandang fasilitas negara yang mencerminkan kekuasaan yang tidak semua orang bisa menikmatinya.
Di DPD, selain sebutan pejabat negara, mereka pun disebut senator; suatu sebutan untuk wakil terhormat dari kelas nomor satu bagi negara yang mempunyai dua kamar perwakilan. Di negara-negara yang memiliki lembaga perwakilan dua kamar, seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, ada kamar yang mewakili rakyat biasa (parpol) dan ada yang mewakili distrik yang berdaulat dan golongan elite ningrat. Perwakilan kelas elite dari kalangan ningrat dan distrik pemegang kedaulatan negara membawa mereka ke dalam kamar kelas nomor satu dalam konstitusinya. Jabatan wakilnya disebut senator. Bukan seperti di negara kita, di mana pemegang kekuasaan dan kedaulatan itu di tangan rakyat yang diwakili oleh partai politik, bukan diwakili pemerintah daerah atau kalangan elite ningrat dan raja di daerah-daerah. Semua raja di daerah setelah Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945, telah menyerahkan kedaulatannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sebenarnya sebutan senator bagi wakil pemerintah daerah di DPD kurang tepat, cukup disebut pejabat negara saja. Dengan demikian, maka etika administrasi negaranya-kedudukan dua kamar di lembaga perwakilan kita-segera ditata dengan baik, yakni yang disebut kamar pertama dan kamar kedua.
Dalam konstitusi kita bahwa pemerintahan yang demokratis itu kekuasaan di tangan rakyat yang wujudnya dilaksanakan oleh partai politik. Kekuasaan rakyat di bidang perundangan dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kekuasaan rakyat di bidang pelaksanaan perundangan di tangan Presiden. Dan, kekuasaan rakyat di bidang kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) dan badan pengadilan di bawahnya.
Kalau seandainya DPD dijadikan kamar pertama, maka pemegang kekuasaan mengesahkan rancangan UU yang (selama ini) dilakukan DPR dan pemerintah perlu alasan penguat yang jelas. Misalnya pemerintahan kerajaan daerah ini adalah bentuk kedaulatan yang ada di bumi Nusantara yang membentuk NKRI. Atau ketika di awal era reformasi semangat dan cita-cita melaksanakan desentralisasi dan otonomi pemerintahan daerah sangat kuat sehingga peranan otonomi pemerintah daerah diutamakan. Dengan demikian, alasan amandemen UUD 1945 yang melahirkan DPD menjadi lebih jelas.
Etika pemerintahan