JAKARTA, KOMPAS.com - Penambahan jumlah hakim dinilai mendesak direalisasikan. Hakim Yustisial pada Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Witanto mengatakan tidak adanya rekrutmen selama tujuh tahun terakhir telah menimbulkan krisis jumlah hakim.
Kurangnya jumlah hakim, kata dia, tidak hanya menjadi kendala bagi MA tetapi juga mengancam proses pelayanan publik.
"Jika rekrutmen tidak berhasil dilakukan pada tahun ini, maka dimungkinkan pada tahun 2020 peradilan di indonesia akan mengalami kelumpuhan," kata Witanto melalui keterangan tertulisnya, Rabu (12/4/2017).
Dengan kondisi kurangnya jumlah hakim, lanjut Witanto, membuat MA mengalami kesulitan dalam mengelola lembaga peradilan di bawahnya.
Menurut Witanto, jumlah personel hakim saat ini tidak seimbang dengan kebutuhan di lapangan.
"Kondisi riil di lapangan pada pengadilan-pengadilan di daerah jumlah hakim hanya tiga hingga empat orang, termasuk ketua dan wakil. Sehingga hanya bisa dibentuk satu majelis," Kata Witanto.
(Baca: Kepada Presiden, Ihaki Keluhkan Kurangnya Hakim)
Menurut Witanto, kurangnya jumlah hakim berdampak pada kepentingan para pencari keadilan.
Sebab jika salah seorang hakim ada yang sakit atau berhalangan hadir, persidangan tidak dapat dilangsungkan.
"Karena tidak ada yang menjadi penggantinya," kata Witanto.
Witanto mengatakan, guna menanggulangi masalah tersebut diterbitkan Perma Nomor 2 Tahun 2017.
Perma tersebut dikeluarkan karena rekrutmen dengan menggunakan nomenklatur hakim sebagai pejabat negara tidak ada ketentuan pelaksanaannya.
Kemudian, MA dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) juga telah menyepakati bahwa jumlah rekrutmen yang akan diselenggarakan adalah sebanyak 1.684 hakim.
"Terkait hal itu tinggal menunggu izin prinsip dari menteri keuangan," kata dia.
Dengan sejumlah alasan tersebut, lanjut Witanto, menjadi tidak beralasan jika ada beberapa pihak yang menyebut bahwa rekrutmen hakim tidak diperlukan.