JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Imparsial Evitarossi Budiawan menyoroti revisi UU KUHP di mana hukuman mati akan menjadi hukuman alternatif.
Salah satu yang menjadi fokus perhatian, yakni soal masa waktu seorang terpidana mati dapat dialihkan hukumannya jadi penjara seumur hidup atau penjara dengan masa waktu yang lebih pendek, jika menunjukan pertobatan.
Dalam proses revisi itu, pemerintah mengusulkan waktu 10 tahun untuk menilai seorang terpidana mati 'bertobat' atau tidak agar layak diubah hukumannya.
"10 tahun itu masih terlalu lama. Jadi kami menyarankan agar kurang dari 10 tahun," ujar Evita dalam konferensi pers di Kantor Imparsial, bilangan Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (9/4/2017)
Baca: Imparsial Nilai Hukuman Mati Tak Hentikan Peredaran Narkoba dari Lapas
Menurut Imparsial, masa 10 tahun menyebabkan ketidakpastian hukum bagi sang terpidana mati. Mereka menjadi ragu apakah pertobatan yang ditunjukan benar-benar sesuai dengan syarat pengalihan sanksi hukuman mati atau tidak.
"Kriteria-kriteria seorang terpidana mati dialihkan ke hukuman di bawah itu tidak jelas hingga saat ini," ujar Evita.
Peneliti Imparsial lainnya Ardi Manto Adiputra menambahkan, masa 10 tahun sebagai terpidana mati membuat dia tidak produktif.
"Sebab, namanya terpidana mati, ada hak-hak di penjara yang dibatasi. Berbeda dengan narapidana lainnya. Akibatnya masa 10 tahun itu dijalani dengan tidak produktif," ujar dia.
Baca: Menkumham Yakin Aturan Baru soal Hukuman Mati Akan Bebas Penyelewengan
Ardi mengatakan, tim perumus revisi UU KUHP sebelum yang sekarang pernah mengusulkan masa penilaian itu hanya lima tahun. Ia mempertanyakan mengapa sekarang diubah menjadi 10 tahun.
"Apalagi jika berkaca pada negara lain, China misalnya. Itu tiga tahun saja cukup untuk menilai seorang terpidana mati layak diubah hukumannya atau tidak," ujar Ardi.