JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono mengatakan, ketentuan penyadapan dalam Rancangan Undang-undang Anti-terorisme patut dipertanyakan.
Menurut dia, ada penghilangan syarat penyadapan yang tercantum dalam Pasal 31 RUU Anti-terorisme.
"Pengaturan penyadapan dalam RUU ini patut dipertanyakan. Beberapa aturan yang justru ada di dalam UU telah sengaja dihilangkan," kata Supriyadi, melalui keterangan tertulis, di Jakarta, Rabu (5/4/2017).
Supriyadi mengatakan, dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, penyadapan hanya dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri untuk jangka waktu paling lama satu tahun.
Selain itu, penyadapan juga harus dilaporkan kepada atasan penyidik.
(Baca: ICJR Kritik Tertutupnya Pembahasan RUU Anti-Terorisme)
Sementara, dalam RUU Anti-terorisme, syarat tersebut hilang.
Menurut Supriyadi, penyadapan yang dilakukan bagi kepentingan intelijen berpotensi melanggar prinsip peradilan yang adil atau fair trial.
Tanpa surat perintah dari ketua pengadilan, hak privasi warga negara dapat terancam.
"Proses penyadapan yang dilakukan tanpa melalui mekanisme izin ketua pengadilan sangat berpotensi disalahgunakan dan melanggar hak privasi warga negara. Penyadapan harus dilakukan dengan surat perintah yang diberikan oleh hakim karena merupakan bagian dari upaya paksa," ujar Supriyadi.
Revisi UU Anti-terorisme awalnya ditargetkan selesai akhir Oktober 2016. Namun, hingga kini pembahasan masih berlangsung.