JAKARTA, KOMPAS.com - Rapat Paripurna DPD pada Senin (3/4/2017) hingga dini hari menghasilkan pimpinan baru.
Tiga pimpinan itu adalah Oesman Sapta Odang yang terpilih sebagai Ketua DPD, dengan dua wakilnya, Nono Sampono dan Darmayanti Lubis.
Pakar Komunikasi Tjipta Lesmana mengatakan, terpilihnya Oesman Sapta Odang atau yang kerap disapa Oso tidaklah mengherankan.
(Baca: Jadi Pimpinan di Dua Lembaga Legislatif, Ini Komentar Oesman Sapta)
Apalagi jika melihat komposisi anggota DPS saat ini. Sebanyak 27 orang anggota DPD tercatat dalam kepengurusan Hanura. Sementara Oesman Sapta adalah Ketua Umum DPP Partai Hanura.
Selain itu, meski belum masuk kepengurusan, 70 orang anggota DPD menyatakan kesiapaannya masuk Hanura.
"Sejak awal memang arahnya ke sana. Puluhan anggota DPD tiba-tiba masuk partai Hanura. Hanura partai kecil, kursinya sedikit. Karena Ketua Umumnya Pak Oso. Dia ambisius sekali jadi Ketua DPD," kata Tjipta saat dihubungi, Selasa (4/4/2017).
Lebih jauh, Tjipta meyakini Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali tidak akan memandu pimpinan baru DPD untuk mengucapkan sumpah.
Sebab, pemilihan Pimpinan DPD tidak sesuai dengan putusan MA.
MA telah menerbitkan putusan membatalkan Tata Tertib DPD Nomor 1/2016 dan 1/2017 yang mencantumkan masa jabatan pimpinan DPD 2,5 tahun.
(Baca: Oesman Sapta Odang Terpilih Jadi Ketua DPD)
Bila berkaca pada putusan itu, seharusnya pemilihan pimpinan DPD tidak terjadi. Tanpa kehadiran Hatta Ali, lanjut Tjipta, pelantikan pimpinan DPD tidak sah.
Ketentuan itu termaktub dalam Undang-undang 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Pasal 253 ayat (1) menyatakan bahwa "anggota DPD sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam sidang paripurna DPD."
"Ketua MA mustahil mau datang ke DPD melantik para pimpinan. Kalau ketua MA hadir sama sama menampar muka institusi MA," ujar Tjipta.