Oleh: Limas Sutanto
Mendengarkan itu niscaya demi mengerti-dan- menjadi-beradab. Tanpa mengerti tiada kesalingmengertian, tak ada pula kesalingmemberhargakan.
Padahal, kedua hal yang tiada itu merupakan unsur-unsur hakiki yang melandasi keberadaban dan pemerlakuan terhadap manusia dan liyan sebagai subyek. Ketidakadaan "mengerti" menyuburkan kecurigaan dan ketakutan. Kedua pengalaman perasaan pembuncah hati itu mendorong pengejawantahan tindakan memusuhi dan memusnahkan liyan.
Akan tetapi, kini bangsa mengagung-agungkan ekspresi verbal, pekik teriak, suara lantang, hardikan menggelegar, dan yel-yel. Media sosial dan teknologi komunikasi menggelar jalan tol untuk perwujudan pernyataan-pernyataan kewicaraan itu. Bangsa menjelma menjadi massa yang gemar berekspresi kewicaraan. Namun, semakin banyak orang berwicara, kian sedikit ia mendengarkan; bangsa yang suka sekali dengan pernyataan verbal pun menjadi makin kurang mendengarkan.
Tiga kenyataan ini menandakan betapa bangsa kurang atau tidak mendengarkan.
Pertama, hiruk pikuk seperti abadi dalam media sosial, dengan tebaran padat dan luas hoaks, perundungan, penghinaan, caci maki, dan fitnah.
Kedua, kenekatan berwicara bohong yang lantang, yang justru dianggap bahkan dipuji sebagai bukti keberanian dan keteguhan dalam berprinsip.
Ketiga, ketakpedulian terhadap "suara rakyat yang sesungguhnya" (yang paling tampak dalam perilaku "tetap berkorupsi" kendatipun rakyat sesungguhnya menyerukan agar elite tidak melakukan korupsi).
Uraian itu menggarisbawahi pentingnya mendengarkan yang diperhadaphadapkan dengan wabah ekspresi verbal. Lalu, apakah pernyataan kewicaraan tidak penting?
Dalam karya-tulis-terpublikasi mereka yang pertama (Studies on Hysteria, 1895; 2013), Joseph Breuer dan Sigmund Freud menyatakan betapa pengungkapan secara verbal atas perasaan yang terkandung dalam pengalaman menyakitkan yang mengakari gangguan psikis histeris akan mengakhiri gejala-gejala gangguan psikis itu.
Sembuhkan gangguan jiwa
Betapa hebatnya ekspresi verbal itu. Ia dapat menyembuhkan gangguan jiwa. Kedua tokoh pendiri psikoanalisis itu seperti menegaskan bahwa verbalisasi perasaan sedemikian penting di tengah upaya menumbuhkembangkan kesehatan jiwani.
Pengalaman perasaan (afek) yang menyakitkan, tetapi tidak terkatakan akan dikucilkan dari kesadaran (kata Breuer dan Freud direpresikan) sehingga "tetap ada, tetapi seperti tiada", tak terolah, lantas menjadi "ingatan pengalaman traumatis yang terus saja bekerja" (reminiscences) dan karena itu melestarikan gejala-gejala gangguan jiwa.
Akan tetapi, verbalisasi perasaan yang dicita-citakan dalam psikoanalisis tidak sama dengan lontaran-lontaran hoaks dan perundungan verbal. Pada yang pertama, manusia dibimbing sesamanya yang mendengarkan dia dengan saksama untuk menilik dan mendalami pengalamannya sendiri, yang begitu menyakitkan; lalu didampingi untuk mengungkap afek traumatis (perasaan yang menyakitkan) melalui atau dalam kata-kata.
Dalam penciptaan kata-kata kebohongan dan fitnah verbal, orang justru tidak mau menyentuh perasaan menyakitkan yang bersarang di dalam dirinya. Yang ia lakukan justru membuangnya kuat-kuat keluar tanpa mengalami sakitnya perasaan itu. Dan tentu liyan dan dunia pun menjadi "harus mengalami rasa sakit pula".