JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi III DPR Arsul Sani berpendapat, harus ada jaminan bahwa nota kesepahaman yang diteken Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian RI, dan Kejaksaan Agung tak mereduksi kewenangan masing-masing lembaga.
Ia menekankan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, nota kesepahaman tak termasuk sumber hukum.
Dengan demikian, nota kesepahaman yang dibuat tak bertentangan dengan aturan penegakan hukum yang diatur dalam undang-undang.
"Prinsip yang harus dipegang, tidak boleh sebuah MoU mereduksi, mengurangi, atau bahkan melanggar aturan penegakan hukum yang diatur dalam undang-undang," ujar Arsul, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/3/2017).
"Karena kalau dia melanggar, berarti MoU itu bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, dalam hal ini undang-undang," lanjut dia.
(Baca: Perbarui MoU, Ini Hal yang Disepakati KPK, Polri dan Kejagung)
Arsul mencontohkan, terkait penggeledahan personel penegak hukum yang diduga terkait kasus hukum.
Dalam MoU ketiga lembaga disebutkan bahwa penggeledahan harus diberi tahu kepada pimpinan personel.
Jika pemberitahuan tersebut memberikan kewenangan kepada pemberi izin untuk menolak penggeledahan, maka poin tersebut tak bisa diberlakukan.
"Itulah yang tidak sesuai undang-undang. Karena itu berarti mereduksi atau membentur dari maksud undang-undang," kata Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi, Polri, dan Kejaksaan Agung memperbarui nota kesepahaman mengenai penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi.
Ada 15 Pasal yang tercantum dalam nota tersebut.
(Baca: Nota Kesepahaman KPK, Polri, dan Kejaksaan Jangan Jadi Upaya Saling Melindungi)
Dalam MoU ini, sinergi tiga lembaga penegak hukum itu makin diperkuat dalam penanganan kasus korupsi.
Khususnya, terkait pertukaran data dan informasi mengenai kasus-kasus yang ditangani tiga lembaga itu.