JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Center for Strategic and Internasional Studies (CSIS) Tobias Basuki mengatakan, Indonesia belum memiliki seperangkat aturan yang cukup dalam menerapkan pemungutan suara secara elektronik (e-voting).
Terlebih, teknologi masih menjadi ranah baru bagi masyarakat Indonesia.
"Kepemiluan kita itu belum punya kerangka hukum yang jelas dalam membahas segala permasalahan," kata Tobias di gedung CSIS, Jakarta, Selasa (14/3/2017).
Saat ini, perangkat hukum terkait aktivitas di dunia maya misalnya, diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Namun, ketentuan yang awalnya dibuat untuk mengatur perdagangan elektronik, tidak bisa mencakup perkembangan teknologi.
Tobias menyebutkan, hal itu terlihat dari kegamangan pemerintah saat mengatur transportasi yang menggunakan teknologi.
Karena itu, Tobias khawatir akan terjadi kendala terkait sengketa pemilu terjadi. Menurut dia, akan sulit menghadirkan alat bukti digital di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Sengketa pemilu dalam UU Pemilu saja belum lengkap. Belum lagi ditambah barang bukti digital. Akan sulit bagi MK memberikan putusan dari alat bukti digital," ucap Tobias.
Selain itu, Tobias menuturkan, minimnya waktu untuk menerapkan e-voting dapat menimbulkan berbagai masalah jika diterapkan pada pemilu serentak 2019.
(Baca juga: Indonesia Dinilai Belum Siap Gunakan E-Voting)
Ia mencontohkan, India memerlukan waktu lebih dari sepuluh tahun dalam persiapan e-voting.
"India saja mempersiapkan lebih dari 10 tahun. Pileg dan pilpres prosesnya dua bulan di India. Kita dalam skala satu pemilu mau berhasil," ujar Tobias.
E-voting rencananya akan diterapkan dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden 2019. Saat ini, anggota panitia khusus (pansus) rancangan Undang-Undang Pemilu sedang mempelajari penerapan e-voting di Indonesia.
Mereka melakukan studi banding ke Jerman dan Meksiko pada 11-16 Maret 2017.