Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mutu Lembaga Legislatif

Kompas.com - 14/03/2017, 18:18 WIB

oleh: Siswono Yudo Husodo

Menurunnya kualitas DPR RI dan DPRD provinsi/kabupaten/kota sudah sering disampaikan oleh berbagai kalangan.

Beberapa parameter untuk mengukurnya adalah, pertama, tingkat kehadiran yang rendah pada rapat paripurna atau rapat- rapat komisi dan badan serta panitia khusus (pansus) dan panitia kerja (panja). Ada yang beralasan hal ini terjadi karena jadwal rapat komisi, badan, pansus, atau panja kerap berbenturan.

Kedua, produktivitas DPR dari periode ke periode juga rendah, selalu gagal merampungkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Pada Prolegnas 2014- 2019 yang ditetapkan DPR terdapat 183 RUU yang harus diselesaikan. Memasuki 2017, baru 14 RUU yang diselesaikan.

Ketiga, kualitas UU yang dihasilkan DPR sangat rendah. Banyak UU yang baru disahkan sudah harus direvisi karena kalah dalam uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Kemudian diketahui di MK, untuk judicial review dan sengketa pilkada, juga transaksional; amat sangat memprihatinkan.

Keempat, DPR lebih memprioritaskan bongkar pasang UU yang mestinya dibuat untuk jangka panjang. Seperti UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) versi terakhir yang disahkan setelah Pemilu Legislatif (Pileg) 2014, baru berusia dua tahun, akan disempurnakan lagi. UU Pemilu dan UU Pilpres setiap akan pemilu selalu dibongkar pasang. Ini menunjukkan besarnya kepentingan yang jadi pertimbangan dan bukan upaya membentuk tatanan secara sistemis.

Hal itu juga menghabiskan dana, waktu, dan pemikiran. Sebagai perbandingan, UU mengenai pemilihan anggota Kongres AS terakhir kali diubah tahun 1967, atau 50 tahun lalu, yakni Uniform Congressional District  Act yang mengharuskan semua anggota Kongres dipilih berdasarkan sistem single member district.

Kelima, kualitas fungsi pengawasan sangat mengecewakan. Banyak anggota DPR dan DPRD provinsi/kabupaten/kota yang justru menjadi terpidana korupsi atau suap dalam megaskandal yang tak terbayangkan  besarnya. Anehnya, seseorang yang sudah dipecat partainya bisa tetap duduk sebagai pimpinan DPR RI.

Konsentrasi anggota DPR juga terganggu oleh penugasan partai untuk memenangkan calon kepala/wakil kepala daerah dari partainya. Setiap lima tahun terdapat 34 pilkada gubernur, 416 pilkada bupati, dan 98 pilkada wali kota. Akibatnya, jarang muncul pemikiran besar dari anggota DPR/DPRD yang dapat menjadi referensi dalam isu-isu spesifik. Dialog yang terjadi dalam rapat dengar pendapat dengan mitra kerja hanya di tataran normatif; jarang muncul ide kebijakan yang cemerlang dari lingkungan DPR.

Perdebatan tajam yang konseptual, dilengkapi paper dan counter paper  terhadap isu yang strategis dan fundamental sifatnya, seperti soal rasio gini Indonesia yang belum ideal, utang negara yang terus membengkak, masuknya Indonesia dalam kerja sama Masyarakat Ekonomi ASEAN, Kemitraan Trans-Pasifik, agresivitas China di Laut China Selatan, perubahan dunia terkait terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS, dampak pembangunan infrastruktur besar-besaran di Indonesia terhadap perekonomian Indonesia di masa depan, dan lain-lain, tidak muncul. Yang sering muncul adalah politicking dan gegap gempita di sekitar pilkada dan pemilu.

Masih transaksional  

Kualitas DPR ditentukan oleh kualitas anggota DPR. Anggota DPR periode 2014-2019 lebih dari 50 persennya adalah anggota baru. Penyegaran ternyata tak selalu menjamin perbaikan. Anggota Komisi II Arif Wibowo, politisi PDI-P yang sudah beberapa periode menjadi anggota DPR, menyatakan, penurunan kualitas anggota DPR disebabkan yang terpilih  dalam DPR 2014-2019 bukan karena pengalaman, visi, dan komitmen kerakyatan, melainkan karena populer dan atau  transaksional.

Pileg 2014 seperti Pileg 2009 menggunakan sistem  proporsional terbuka. Penghitungan suara habis di daerah pemilihan; dan calon legislator yang terpilih berdasarkan suara terbanyak. Anggota DPR memang harus "berakar" di daerah pemilihan. Dalam sistem ini rakyat lebih berdaulat ketimbang pemimpin parpol. Karena realitas kondisi sosial ekonomi masyarakat, yang terpilih cenderung yang memiliki dana besar atau sudah populer. Integritas, moralitas, dan kapabilitas caleg kurang jadi pertimbangan utama pemilih.

Sistem proporsional terbuka ternyata mendorong politik uang/transaksional, bukan saja oleh caleg, melainkan juga pemilih. Di beberapa gerbang desa ada spanduk  "menerima serangan fajar". Sistem ini juga   menguntungkan  calon populer, terutama kalangan selebritas. Idealnya anggota DPR memang  harus populer, sudah punya kehidupan mapan secara materi dan kompeten. Orang-orang berkompetensi rendah tetapi populer atau ber-uang dicantumkan parpol sebagai caleg guna menarik  pemilih.

Karena itu, parpol yang mencalonkan, caleg dan rakyat yang memilih  sama-sama bersalah membuahkan DPR yang diisi oleh orang yang tidak siap kerja/ masih belajar, belum teruji dan sebagian bukan kader terbaik partai. Tampak jelas beberapa anggota legislatif yang bermutu jenjang  kariernya teratur dari DPRD kabupaten/kota ke DPRD provinsi lalu ke DPR atau mantan pejabat daerah/mantan dirjen atau dari  pimpinan TNI/Polri, aktivis partai, akademisi, profesional, pimpinan lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, atau aktivis LSM yang menonjol.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 21 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 21 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Prabowo Minta Pendukung Batalkan Aksi di MK

Prabowo Minta Pendukung Batalkan Aksi di MK

Nasional
Gagal ke DPR, PPP Curigai Sirekap KPU yang Tiba-tiba Mati Saat Suara Capai 4 Persen

Gagal ke DPR, PPP Curigai Sirekap KPU yang Tiba-tiba Mati Saat Suara Capai 4 Persen

Nasional
Respons PDI-P soal Gibran Berharap Jokowi dan Megawati Bisa Bertemu

Respons PDI-P soal Gibran Berharap Jokowi dan Megawati Bisa Bertemu

Nasional
GASPOL! Hari Ini: Keyakinan Yusril, Tinta Merah Megawati Tak Pengaruhi MK

GASPOL! Hari Ini: Keyakinan Yusril, Tinta Merah Megawati Tak Pengaruhi MK

Nasional
Tak Banyak Terima Permintaan Wawancara Khusus, AHY: 100 Hari Pertama Fokus Kerja

Tak Banyak Terima Permintaan Wawancara Khusus, AHY: 100 Hari Pertama Fokus Kerja

Nasional
Jadi Saksi Kasus Gereja Kingmi Mile 32, Prngusaha Sirajudin Machmud Dicecar soal Transfer Uang

Jadi Saksi Kasus Gereja Kingmi Mile 32, Prngusaha Sirajudin Machmud Dicecar soal Transfer Uang

Nasional
Bareskrim Polri Ungkap Peran 5 Pelaku Penyelundupan Narkoba Jaringan Malaysia-Aceh

Bareskrim Polri Ungkap Peran 5 Pelaku Penyelundupan Narkoba Jaringan Malaysia-Aceh

Nasional
Usulan 18.017 Formasi ASN Kemenhub 2024 Disetujui, Menpan-RB: Perkuat Aksesibilitas Layanan Transportasi Nasional

Usulan 18.017 Formasi ASN Kemenhub 2024 Disetujui, Menpan-RB: Perkuat Aksesibilitas Layanan Transportasi Nasional

Nasional
Ketua KPU Dilaporkan ke DKPP, TPN Ganjar-Mahfud: Harus Ditangani Serius

Ketua KPU Dilaporkan ke DKPP, TPN Ganjar-Mahfud: Harus Ditangani Serius

Nasional
Jokowi Ingatkan Pentingnya RUU Perampasan Aset, Hasto Singgung Demokrasi dan Konstitusi Dirampas

Jokowi Ingatkan Pentingnya RUU Perampasan Aset, Hasto Singgung Demokrasi dan Konstitusi Dirampas

Nasional
Menko di Kabinet Prabowo Akan Diisi Orang Partai atau Profesional? Ini Kata Gerindra

Menko di Kabinet Prabowo Akan Diisi Orang Partai atau Profesional? Ini Kata Gerindra

Nasional
Selain 2 Oknum Lion Air,  Eks Pegawai Avsec Kualanamu Terlibat Penyelundupan Narkoba Medan-Jakarta

Selain 2 Oknum Lion Air, Eks Pegawai Avsec Kualanamu Terlibat Penyelundupan Narkoba Medan-Jakarta

Nasional
Dirut Jasa Raharja: Efektivitas Keselamatan dan Penanganan Kecelakaan Mudik 2024 Meningkat, Jumlah Santunan Laka Lantas Menurun

Dirut Jasa Raharja: Efektivitas Keselamatan dan Penanganan Kecelakaan Mudik 2024 Meningkat, Jumlah Santunan Laka Lantas Menurun

Nasional
Hasto Minta Yusril Konsisten karena Pernah Sebut Putusan MK Soal Syarat Usia Cawapres Picu Kontroversi

Hasto Minta Yusril Konsisten karena Pernah Sebut Putusan MK Soal Syarat Usia Cawapres Picu Kontroversi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com