PARUNG PANJANG, KOMPAS.com - Sekitar pukul 15.30 WIB, Gereja Kristen Methodist Parung Panjang mulai dipadati umat yang akan beribadah.
Iringan lagu-lagu pujian mengalun merdu, menandai akan dimulainya ibadah mingguan sore itu.
Seorang perempuan terlihat berdiri tepat di belakang mimbar yang diselimuti taplak berwarna hijau dengan ornamen salib di bagian tengahnya.
Pandangannya menyapu seluruh ruangan, kemudian menunduk dan memejamkan mata. Kedua tangannya saling bertaut, bersiap mengucapkan doa.
Mutiara Pardede mendapat tugas membawakan doa syafaat sebelum Pendeta Abdi Saragih memberikan khotbah.
Di bagian akhir doanya, Mutiara sempat menyelipkan harapan kepada pemerintah agar memberikan izin kepada umat untuk tetap beribadah di rumah itu.
"Tuhan, berkatilah proses pengurusan izin gereja kami. Kami hanya ingin tetap bisa beribadah di tempat ini," ucapnya.
Gereja Methodist Parung Panjang merupakan salah satu dari tiga gereja di Parung Panjang yang dilarang melakukan peribadahan untuk sementara.
Pemerintah Kabupaten Bogor, Jawa Barat, menetapkan status quo terhadap tiga gereja yang berlokasi di Perumahan Griya Parung Panjang, RT 04/RW 05, Desa Kabasiran, Kecamatan Parung Panjang.
Penetapan tersebut tertuang dalam berita acara hasil pembahasan rapat peninjauan rumah tinggal yang dijadikan tempat ibadah pada Selasa (7/3/2017), di Ruang Rapat I Sekretaris Daerah Kabupaten Bogor.
Lampiran berita acara hasil pembahasan itu menyatakan rumah tinggal yang biasa digunakan sebagai tempat ibadah umat Katolik, Kristen HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), dan Kristen Methodist di Perumahan Griya Parung Panjang tidak bisa digunakan sebelum adanya keputusan rapat Forum Komunikasi Pimpinan Daerah.
Pimpinan Majelis Gereja Kristen Methodist, Pendeta Abdi Saragih menurutkan, penetapan status quo tersebut berawal dari adanya keberatan dari Tim 11 atas berdirinya tiga gereja sekaligus di kawasan Griya Parung Panjang.
Tim 11 itu, kata Abdi, beranggotakan seluruh ketua RT dan RW yang ada di perumahan.
Keberatan tersebut muncul setelah pada Maret 2014, Ketua RW saat itu menolak izin penyelenggaraan ibadah Paskah dan berdirinya Gereja HKBP pada September 2014.
"Pada September 2014, Gereja HKBP mulai berdiri. Kemudian ada surat keberatan dari Ketua RT Tajudin. Setelah ada pernyataan keberatan itu kami ke Kepala Desa Saefulloh, minta mediasi. Namun, karena ada kesibukan lain, mediasi belum bisa diadakan," ujar Abdi saat ditemui di rumahnya, Minggu (12/3/2017).