JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zainal Arifin Mochtar, menilai proses hukum pada kasus korupsi E-KTP harus terus berjalan meski menyeret sejumlah politisi ternama di Indonesia.
Zainal pun meyakini proses hukum terhadap kasus tersebut tak akan menimbulkan kegaduhan seperti yang disampaikan Ketua DPR Setya Novanto.
"Proses hukum pada kasus korupsi E-KTP enggak bikin gaduh. Yang bikin gaduh ya mereka yang melanggar hukum dengan cara korupsi. Itu kritik saya buat Setya Novanto yang bilang proses hukum kasus E-KTP jangan gaduh," kata Zainal saat ditemui di Jakarta, Kamis (9/3/2017).
"Seharusnya Setya Novanto ingatkan teman-temannya di DPR supaya tidak korupsi dan akhirnya bikin gaduh," lanjut Zainal.
Terlebih, kata Zainal, proses hukum tidak boleh diintervensi oleh kepentingan politik. Sebab, sudah semestinya hukum bekerja untuk menegakan keadilan, tanpa harus memperhitungkan kegaduhan yang ditimbulkan.
Karena itu, Zainal mengatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak perlu mengkhawatirkan ihwal keterlibatan nama-nama besar dalam korupsi yang kerugiannya diperkirakan mencapai Rp 2,3 triliun tersebut.
"Jadi KPK tak perlu mengkhawatirkan itu, yang penting proses hukum harus terus berjalan untuk menuntaskan kasus korupsi E-KTP ini karena proses hukum tak boleh diintervensi," tutur Zainal.
Sebelumnya Ketua DPR RI, Setya Novanto setuju kasus korupsi proyek e-KTP diusut hingga tuntas.
Namun, Setya Novanto yang juga pernah diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi dalam kasus ini meminta agar pengusutan kasus korupsi e-KTP tidak gaduh.
(Baca: Setya Novanto Harap Sidang Korupsi E-KTP Tak Timbulkan Kegaduhan Politik)
Diketahui Ketua DPR RI Setya Novanto disebut terlibat dalam kasus korupsi e-KTP. Setya Novanto diberi jatah Rp 574 miliar dari total nilai pengadaan e-KTP.
Novanto diduga menjadi pendorong disetujuinya anggaran proyek e-KTP senilai Rp 5,9 triliun.
(Baca: Dakwaan Kasus E-KTP: Novanto, Anas, Nazaruddin Sepakat Bagi-bagi Rp 2,5 Triliun)
Hal itu terungkap dalam surat dakwaan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap dua terdakwa mantan pejabat di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto.
"Setya Novanto dan Andi Agustinus alias Andi Narogong mendapat bagian sebesar 11 persen, atau sejumlah Rp 574,2 miliar," ujar jaksa KPK di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (9/3/2017).