JAKARTA, KOMPAS.com - Selama ini, cenderamata atau hadiah untuk presiden dianggap sebagai benda yang berpotensi dikategorikan sebagai gratifikasi.
Namun, tidak semua pemberian dari tamu negara kepada Presiden Joko Widodo dapat dikategorikan sebagai gratifikasi.
Kepala Sekretariat Presiden Darmansjah Djumala mengatakan, jika kenang- kenangan itu diberikan oleh tamu negara, maka otomatis itu didaftarkan ke Kementerian Keuangan untuk dijadikan Barang Milik Negara (BMN).
"Tapi kalau itu dari perusahaan atau perorangan, apalagi jika nilainya jut jut jut, (bernilai berjuta-juta atau lebih), ya lapor KPK," ujar Djumala di Kompleks Istana Presiden, Rabu (8/3/2017).
Djumala mencontohkan, saat Presiden Jokowi melakukan kunjungan kerja ke Rusia pada Mei 2016 lalu. Salah satu perusahaan minyak asal Rusia bernama Rosneft memberikan oleh -oleh kepada Presiden Jokowi berupa lukisan dan perangkat minum teh.
(Baca: Jokowi Kembalikan Hadiah dari Perusahaan Minyak asal Rusia ke KPK)
Presiden pun melaporkan pemberian itu ke KPK sepulangnya ke Tanah Air.
"Latar belakang Rosneft kalian tahulah dan waktu itu Presiden ke sana dalam rangka apa. Makanya patut diduga ya itu (gratifikasi)," ujar dia.
Djumala menambahkan, tidak ada undang-undang yang mengatur nilai sebuah barang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi. Oleh sebab itu, seluruh barang yang diberikan ke Presiden selalu dilaporkan ke KPK.
"Ternyata yang dari Rosneft itu nilainya memang gede kan. Meski ya tidak ada di undang-undang juga soal batas nilainya," ujar Djumala.
(Baca juga: Jokowi Akan Beri Cenderamata ke Tamu Negara, jika...)
Dikutip dari laman www.kpk.go.id, pengertian gratifikasi tertuang dalam Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bunyinya, "pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya".
Tertulis juga, "gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik".
Akan tetapi, dalam Pasal 12C ayat (1) tertulis, "gratifikasi yang yang diterima penyelenggara negara tidak akan dianggap sebagai suap apabila penerima gratifikasi melaporkan kepada KPK".
Pelaporan tersebut paling lambat adalah 30 hari sejak tanggal diterimanya gratifikasi.
Dalam Pasal 2 Bab II Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 mengatur bahwa penyelenggara negara yang wajib melaporkan gratifikasi ke KPK yakni, mulai dari pejabat negara pada lembaga tertinggi negara, menteri, gubernur, hakim hingga pegawai negeri.