JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini menilai, berbagai persoalan internal yang terjadi di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) saat ini karena ada pihak yang ingin mendelegitimasi lembaga tersebut.
Menurut dia, dengan keterbatasan wewenang untuk menjalankan fungsi perwakilan, ditambah dengan dominasi partai politik, membuat DPD menjadi seperti pesakitan.
Ia menyoroti banyaknya anggota DPD yang bergabung menjadi kader partai politik.
Padahal, dalam sistem perwakilan bikameral, DPD seharusnya tidak untuk wakil dari partai, tetapi wakil dari wilayah.
"Perwakilan wilayah, daerah, atau ruang seperti yang dijalankan DPD, diberlakukan sama perwakilannya seperti DPR yang mewakili partai. Kepentingannya DPD agar tidak perwakilan tidak bias Jakarta dan Jawa," kata Titi, saat dihubungi, Selasa (7/3/2017) malam.
Dengan masuknya anggota DPD ke partai politik, maka perwakilan DPD yang seharusnya berbasis daerah, menjadi tersekat dengan kepentingan politik tertentu.
(Baca: "DPD Memprihatinkan, Kewenangan Terbatas tetapi Cakar-cakaran")
Hal itu membuat DPD tak berbeda dengan DPR.
"Oke tak masalah mereka punya latar belakang partai tapi pengabdian di partai berakhir saat dia masuk DPD," ujar Titi.
"Di RUU (Rancangan Undang-undang) Pemilu harus ada aturan bahwa mereka enggak jabat pengurus partai ketika terpilih sebagai anggota DPD. Mandat eksklusif untuk wakili daerah harus dijaga," lanjut Titi.
Hal senada disampaikan Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun.
Ia mengatakan, sistem perwakilan dua kamar ini harus dibedakan secara tegas.
Jika tak ada perbedaan, maka tak ada gunanya lagi penerapan sistem bikameral.
"Kita secara sadar memilih parpol untuk DPR dan tidak boleh calon independen kok untuk DPR. Kemudian DPD sebagai calon perseroangan dan tidak dari parpol," kata Refly.