Oleh: Saurip Kadi
Otokritik dan resep perbaikan tentang demokrasi yang disampaikan Presiden Joko Widodo di Sentul, Bogor, 22 Februari 2017, perlu kita apresiasi bersama.
Dua kata kunci tentang demokrasi yang disampaikan Presiden Jokowi adalah "Demokrasi kita sudah kebablasan dan praktik politik demokrasi kita telah membuka peluang terjadinya artikulasi politik yang ekstrem seperti liberalisme, sektarianisme, fundamentalisme, terorisme, dan ajaran-ajaran yang bertentangan dengan ideologi Pancasila".
Yang kedua adalah "Aparat hukum harus tegas, jangan ragu-ragu dalam mengatasi demokrasi yang kebablasan".
Pertanyaan yang harus dijawab kita semua adalah apa dan mengapa di balik otokritik tersebut serta bagaimana jalan keluarnya?
Belenggu sistem
Sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia mencatat bahwa karena ketergesa-gesaan, founding fathers kita yang duduk dalam BPUPKI dan juga PPKI belum sempat merumuskan batang tubuh UUD sebagai turunan atau jabaran dari Pembukaan UUD 1945.
Nilai-nilai luhur yang ada dalam Pembukaan UUD 1945, termasuk nilai-nilai Pancasila, belum sempat didiskusikan secara rinci, matang, dan mendalam yang kemudian dijelmakan dalam bentuk rumusan pasal-pasal batang tubuh UUD 1945.
Oleh karena itu, Bung Karno pada 18 Agustus 1945 dalam pengesahan UUD 1945 di depan Sidang Paripurna PPKI menyebut UUD 1945 sebagai UUD kilat, sekaligus berpesan bahwa kelak kalau keadaan sudah tenteram akan memanggil kembali anggota MPR untuk merumuskan UUD yang lebih sempurna.
Memang betul kita telah melakukan empat kali amandemen UUD 1945. Tetapi, amandemen yang dilaksanakan langsung menukik ke pasal-pasal batang tubuh, untuk mengurangi dan membatasi sejumlah kewenangan Presiden, menambah kewenangan DPR, dan secara terbatas memasukkan nilai-nilai demokrasi dan HAM, serta menghapus keberadaan DPA. Akibatnya logika kesisteman diabaikan, nilai-nilai negara otoriter yang terkandung di dalamnya begitu saja dicampur dengan nilai-nilai demokrasi.
Di sisi lain, tata laksananya juga mencampuradukkan antara sistem parlementer dan sistem presidensial yang masing-masing mempunyai filsafat dan logika politik sendiri-sendiri yang secara umum berseberangan satu dengan lainnya.
Bagaimana mungkin presiden yang dipilih langsung oleh rakyat dalam sebuah pemilu dalam praktiknya bisa disandera partai-partai melalui DPR layaknya sistem parlementer. Padahal, partai semestinya hanyalah penyelenggara atau EO (event organizer). Terus bagaimana logikanya dengan model begini kita berharap akan lahir stabilitas politik, kecuali pemerintahan yang dibentuk sekadar melanjutkan keamburadulan yang ada, dengan kompromi untuk bagi-bagi lapak kekuasaan dan ekonomi di antara elite semata.
Sekadar untuk konsolidasi kekuasaan saja, Presiden Joko Widodo sebagai pendatang baru yang bukan bagian dari "turbulensi" elite Jakarta perlu waktu dua setengah tahun, yang dengan kepiawaiannya, akhirnya bisa menaklukkan lingkaran kekuasaan yang membelenggunya.
Pasungan realitas
Berkat gaya kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang "selalu ada pilihan", tetapi tanpa pernah memilih, secara alamiah muncul semua "borok" dan atau "penyakit" yang diderita NKRI. Residu Orde Baru selama 32 tahun dan 5 tahun era Reformasi berhasil didetoks dalam 10 tahun kepemimpinan SBY.