JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami penyidikan terkait dugaan korupsi pengadaan mesin pesawat di PT Garuda Indonesia.
Selain mantan Direktur Utama Garuda Indonesia, Emirsyah Satar, KPK menduga ada pihak-pihak lain yang ikut menerima aliran dana suap.
"Para saksi diminta jujur, sehingga lebih baik untuk penanganan kasus ini dan perusahaan, karena kami masih mendalami adanya oknum yang diduga bermain dan menerima sejumlah uang terkait pengadaan di Garuda," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK Jakarta, Selasa (28/2/2017).
Febri mengatakan, hingga saat ini sekitar 13 saksi telah diperiksa untuk tersangka Emirsyah Satar.
(Baca: Emirsyah Satar Tak Ingin Kasusnya Ganggu Kinerja Garuda Indonesia)
Sebagian besar saksi yang diperiksa adalah pejabat dan mantan pejabat di perusahaan maskapai pelat merah tersebut.
KPK menilai PT Garuda Indonesia cukup kooperatif dalam membantu proses penyidikan, misalnya untuk memfasilitasi karyawan saat diperiksa oleh penyidik.
Diharapkan, kerja sama yang baik tersebut dapat membantu KPK membongkar keterlibatan pelaku lain yang diduga ikut menerima uang.
Dalam perkara ini, Emirsyah juga disangka melanggar Pasal 55 ayat 1 KUHP, atau disangka melakukan tindak pidana secara bersama-sama.
Dengan kata lain, sejak awal KPK menduga ada keterlibatan pihak lain sebagai penerima suap.
Pasca penetapan tersangka, KPK mencegah dua pejabat PT Garuda agar tidak bepergian ke luar negeri.
Keduanya yakni, Direktur Teknik PT Garuda Indonesia tahun 2007-2012 Hadinoto Soedigno dan Agus Wahjudo yang pernah tercatat sebagai Executive Project Manager PT Garuda Indonesia.
(Baca: Jokowi Singgung Kasus Emirsyah Satar di Depan Para Bos BUMN)
Emirsyah Satar ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK setelah diduga menerima suap dalam bentuk transfer uang dan aset yang nilainya diduga lebih dari 4 juta dollar AS, atau setara dengan Rp 52 miliar dari perusahaan asal Inggris Rolls-Royce.
Suap tersebut diduga terkait pengadaan mesin Rolls-Royce untuk pesawat Airbus milik Garuda Indonesia pada periode 2005-2014.
Uang dan aset yang diberikan kepada Emir diduga diberikan Rolls-Royce agar perusahaan asal Inggris tersebut menjadi penyedia mesin bagi maskapai penerbangan nomor satu di Indonesia.