JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, menilai pernyataan Presiden Joko Widodo mengenai demokrasi yang kebablasan adalah pemikiran yang wajar.
Menurut Jimly, pernyataan itu sebaiknya menjadi awal dimulainya perbaikan dalam berdemokrasi.
"Saya kira wajar saja, termasuk keluhan mengenai kebablasan itu wajar saja menurut saya," ujar Jimly saat menjadi narasumber diskusi Smart FM di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (25/2/2017).
Menurut Jimly, 19 tahun setelah reformasi, demokrasi di Indonesia banyak dikeluhkan para aktor sosial dan politik.
Bukan hanya Presiden, keluhan mengenai kebebasan dalam mengutarakan pendapat juga disampaikan legislatif dengan sudut pandang yang berbeda satu sama lain.
Menurut Jimly, momentum ini sebaiknya dimanfaatkan pemerintah untuk melakukan evaluasi dalam berjalannya demokrasi di Indonesia.
Misalnya, dalam aspek hukum, pemerintah perlu memikirkan penguatan sisi regulasi, agar demokrasi tidak memunculkan hal-hal negatif dalam masyarakat.
"Memang demokrasi ini belum ajeg, masih berubah-ubah. Jadi ada kesempatan memperbaiki, kalau hasil evaluasi menganggap ada ya g kurang tepat," kata Jimly.
Presiden Joko Widodo mengaku akhir-akhir ini banyak yang bertanya kepadanya mengenai sistem demokrasi di Indonesia. Hal tersebut disampaikan Jokowi saat berpidato dalam pengukuhan pengurus DPP Hanura di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Rabu (22/2/2017).
(Baca: Jokowi: Demokrasi Kita Sudah Kebablasan)
"Banyak yang bertanya pada saya, apa demokrasi kita keablasan? Saya jawab ya, demokrasi kita sudah kebablasan," kata Jokowi.
Jokowi mengatakan, demokrasi yang kebablasan itu membuka peluang artikulasi politik yang ekstrim seperti liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, sekterianisme, terorisme, serta ajaran-ajaran yang bertentangan dengan ideologi pancasila.