Oleh:
Husein Ja’far Al Hadar
Menarik membaca artikel F Budi Hardiman berjudul "Kesalehan dan Kekerasan" (Kompas, 6/1). Artikel ini akan mengurai perspektif Islam tentang tema yang diurai dalam artikel tersebut mengingat dominannya narasi kekerasan yang muncul dari tafsir salah kaprah ekstremis Muslim atas Islamnya maupun dikaitkannya Islam dengan isu kekerasan, baik di Indonesia maupun di belahan dunia lainnya.
Meskipun basisnya sangat kuat, bahkan paling kuat dalam Islam, etika tak mendapat perhatian besar dari filosof-filosof Muslim.
Salah satu dari sangat sedikit yang memberikan perhatian besar pada tema itu adalah Ibn Miskawaih, filosof Islam asal Persia abad ke-10 yang disebut sebagai "Bapak Etika Islam" melalui karya monumentalnya berjudul Tahdzibul Akhlak wa Tathir al-Araq".
Sejak awal, secara filosofis, Ibn Miskawaih meletakkan etika dalam fakultas diri yang disebut an-nafs an-nathiqah (daya berpikir). Oleh karena itu, ia harus dididik.
Ibadah termasuk salah satu "kurikulum" pendidikan etika dalam Islam. Karunia daya pikir itu tak ada kaitannya dengan agama. Basisnya pun adalah nilai universal berupa keadilan.
Bergantung akhlak
Jauh sebelum Nabi Muhammad SAW menerima firman pada umurnya ke-40, ia lebih dulu tampil dengan dua fondasi: rahmat dan akhlak. Dia adalah Nabi Rahmat (Nabi ar-Rahmah) bagi semesta alam (rahmatan lil alamin), bukan sekadar bagi umat Islam (lil muslimin), sebagaimana dalam QS Al-Anbiya: 107.
Dia juga, sebagaimana sabda-Nya dan firman-Nya (QS Al-Qalam: 4), benar-benar diutus untuk menyempurnakan akhlak. Bukan "membawa", melainkan "menyempurnakan". Sebab, etika atau akhlak adalah bawaan daya pikir setiap manusia.
Lebih jauh lagi, dalam Islam, fikih (hukum) selalu diukur dengan parameter akhlak. Shalat, misalnya, untuk menjauhkan kita dari kekejian dan kemungkaran (Al-'Ankabut: 45) serta sebaliknya: neraka Wayl bagi mereka yang shalat untuk riya' dan tak mau memberi pertolongan (Al-Ma'un: 4-7), zakat menjadi sia-sia jika diikuti kata-kata yang melukai (Al-Baqarah: 264), dan seterusnya.
Bahkan, dalam hadis ditegaskan bahwa akhlak yang buruk justru bisa merusak amal, seperti cuka merusak madu atau di hadis lain dimisalkan seperti api melalap kayu bakar (HR Ibn Majah).
Alhasil, pada puncaknya justru sebagaimana Nabi sabdakan bahwa "agama adalah akhlak yang baik, misalnya: jangan marah." Atau di hadis lain dikatakan bahwa kuat dan lemahnya iman bergantung pada akhlak.
Maka, kesalehan dalam Islam sebenarnya juga dan paling mendasar adalah kategori etika. Inilah yang sekaligus menjadi titik salah paham atau bahkan penyelewengan umat Islam yang ekstrem: kesalehan menjadi kategori fikih semata.
Di sinilah salah satu sumber kekerasan oleh sebagian umat Islam: dicerabutnya etika dari hukum (Islam).
Kesalehan menjadi hanya perkara vertikal (hubungan manusia dan Tuhan: hablumin-Allah), minus perkara horizontal (hubungan sesama manusia: habluminannas).