JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Program Perhimpunan Bantuan Hukum & HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menegaskan, ada dua hal yang harus dicermati dalam proses seleksi hakim mahkamah konstitusi.
Dua hal itu adalah aspek keterbukaan dan rekam jejak calon.
Menurut Julius, kedua hal tersebut harus diperhatikan oleh panitia seleksi untuk menghindari calon-calon yang berpotensi menjadi mafia peradilan.
Pernyataannya ini terkait Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan menggelar sidang terkait sengketa Pilkada Serentak 2017.
"Panitia Seleksi Hakim Konstitusi harus melaksanakan perintah konstitusi dalam melakukan seleksi Hakim Konstitusi secara transparan dan partisipatif, dengan melibatkan masyarakat sipil," ujar Julius, melalui keterangan tertulisnya, Rabu (22/2/2017).
Julius mengatakan, Pansel Hakim Konstitusi harus memastikan proses seleksi berjalan secara transparan dan partisipatif.
Dia merujuk pada polemik pengangkatan Patrialis Akbar oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Saat itu, masyarakat sipil menilai bahwa pengangkatan tersebut melanggar ketentuan yang terdapat pada pasal 9 dan pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945 serta Pasal 19 Undang-undang No 24 tahun 2003 sebagaimana diubah dengan Undang-undang No 8 tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, karena tidak transparan dan partisipatif.
Patrialis diberhentikan secara tidak terhormat setelah terjaring operasi tangkap tangan oleh KPK atas dugaan tindak pidana korupsi terkait penanganan perkara di MK.
"Pengangkatan Patrialis Akbar oleh Presiden SBY adalah preseden paling buruk dari segi proses dan hasil," kata dia.
Selain itu, Julius juga meminta Pansel Hakim Konstitusi jeli dan rinci dalam menelisik rekam jejak Calon Hakim Konstitusi yang mendaftar.
Menurut dia, Pansel harus menerapkan dengan indikator absolut bahwa calon hakim konstitusi harus bersih dari rekam jejak afiliasi politik dan bukan seorang politisi aktif maupun pasif dari partai politik.
Dia menganggap adanya relasi dengan kepentingan politik akan membahayakan dari segi integritas dan independensi Hakim Konstitusi nantinya.
Dengan demikian, lanjut Julius, Pansel Hakim Konstitusi harus mengakomodasi masukan dari masyarakat sipil yang memberikan informasi sesuai dengan data dan fakta yang bisa dipertanggungjawabkan.
"Jangan-jangan justru akan menjadi mafia sengketa pilkada. Preseden buruk mantan Hakim Konstitusi, Akil Mochtar, yang terjerat kasus tindak pidana korupsi terkait sengketa Pilkada, harus betul-betul dijadikan pelajaran oleh Pansel Hakim Konstitusi kali ini," ujar Julius.
Sebelumnya, pada Selasa (21/2/2017), Presiden Joko Widodo melalui Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengumumkan Keputusan Presiden tentang Panitia Seleksi Hakim Konstitusi kepada publik.
Pengumuman itu sekaligus mengumumkan pendaftaran Calon Hakim Konstitusi di media massa.
Pansel Hakim Konstitusi tersebut terdiri dari mantan Wakil Ketua MK Harjono, pengacara senior Todung Mulya Lubis, Wakil Ketua Komisi Yudisial Sukma Violetta, Maruarar Siahaan dan Ningrum Sirait.