JAKARTA, KOMPAS.com – Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar menilai, ada upaya untuk melemahkan putusan Komisi Informasi Publik (KIP) yang dilakukan majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Putusan KIP mewajibkan Kemensetneg mempublikasikan hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) kematian aktivis Munir Said Thalib.
“Dan itu implikasinya merugikan hak warga negara, bukan hanya kami, penggugat, organisasi Munir dan keluarga, tetapi hak publik,” kata Haris, di Kantor Komisi Yudisial, Jakarta, Selasa (21/2/2017).
Ia mengatakan, permohonan keberatan yang diajukan Kemensetneg atas putusan KIP ke PTUN, bukan permohonan sepihak.
Oleh karena itu, perlu ada pemeriksaan dengan membandingkan dokumen yang dimiliki antara Kemensetneg, KIP, serta pihak terkait seperti Kontras.
“Dari situ bisa berangkat untuk melakukan pemeriksaan atau memanggil saksi,” kata dia.
Namun, ia menyesalkan sikap majelis hakim PTUN yang justru melakukan pemeriksaan keberatan secara tertutup.
Hal itu dinilai bertentangan dengan Pasal 8 Perma Nomor 2 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Informasi Publik di Pengadilan.
Pasal tersebut mengatur secara tegas kewajiban majelis hakim untuk memeriksa keberatan secara terbuka.
Pengecualian dimungkinkan jika dokumen yang diperiksa berisi informasi yang dikecualikan.
Haris beranggapan, proses pemeriksaan di PTUN seharusnya juga dapat menjadi ruang untuk mencari kebenaran materil.
Apalagi, sebelumnya mantan Mensesneg Sudi Silalahi telah memberikan salinan dokumen TPF Munir.
“Dokumen tersebut harusnya diuji di pengadilan apakah dokumen tersebut adalah dokumen yang disusun. Artinya menghadirkan (anggota) TPF,” kata dia.
Diberitakan, majelis hakim membatalkan putusan KIP Nomor 025/IV/KIP-PS/2016 tanggal 10 Oktober 2016.
Putusan KIP itu mewajibkan Kemensetneg mempublikasikan hasil penyelidikan TPF Munir dan memberikan alasan tidak dipublikasikannya dokumen tersebut kepada publik.