JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Agung Muhammad Prasetyo meminta semua pihak menghormati apapun putusan pemerintah terkait status Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Gubernur DKI Jakarta Basuki TJahaja Purnama kini berstatus terdakwa dugaan penodaan agama. Ahok yang juga calon gubernur pada Pilkada Pilkada DKI Jakarta 2017, aktif kembali sebagai gubernur setelah masa kampanye tuntas.
Pengaktifannya tersebut mendapat penolakan dari sejumlah pihak. Prasetyo berpendapat, status gubernur Ahok bergantung kepada putusan pengadilan.
Untuk itu, seluruh pihak harus menghormati proses hukum terhadap Ahok yang kini masih berjalan.
"Hanya satu hal yang saya minta, apapun yang terjadi nanti proses hukum harus dihormati," kata Prasetyo di kawasan Pluit, Jakarta, Senin (20/2/2017).
Prasetyo berharap, proses hukum dalam kasus dugaan penodaan agama tidak ditarik ke ranah politik.
Terlebih, bila dihubungkan dengan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
"Putusannya memang tidak akan memuaskkan semua pihak dalam situasi yang saling berhadapan. Tapi tentunya bahwa semuanya nanti didasarkan pada fakta hukum yang ada di persidangan," ujar Prasetyo.
Hingga kini, agenda persidangan masih mendengarkan keterangan saksi.
"Sekarang masih berjalan kita tunggu saja hasil proses hukum seperti apa. Masih ada tuntutan dan putusan sekarang masih jauh," ucap Prasetyo.
Selebihnya, menurut Prasetyo, terkait diberhentikan sementara atau tidak, itu merupakan kewenangan Mendagri. "Kita hanya menjalankan kewajiban kita melaksanakan proses hukum yang ada," kata dia.
Keputusan mengaktifkan kembali Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta menuai protes. Bahkan, sebagian fraksi di DPR ingin menggunakan hak angket untuk mempertanyakan keputusan Mendagri.
Ahok dianggap tidak bisa lagi aktif menjadi Gubernur DKI karena status hukumnya sebagai terdakwa perkara dugaan penodaan agama.
Pada Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa pemberhentian sementara berlaku jika ancaman hukuman yang menimpa kepala daerah di atas lima tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(Baca: MA Minta Kemendagri yang Jelaskan Isi Fatwa terkait Status Ahok)
Dakwaan Ahok terdiri dari dua pasal alternatif, yaitu Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP.
Pasal 156 KUHP mengatur ancaman pidana penjara paling lama empat tahun. Sementara itu, Pasal 156 a KUHP mengatur ancaman pidana paling lama lima tahun.
Mendagri meminta Mahkamah Agung mengeluarkan fatwa terkait status Ahok. MA sudah mengirimkan putusannya ke Mendagri. Namun demikian, baik Mendagri maupun MA belum mempublikasi isi fatwa tersebut. (Baca: Mendagri Tak Mau Ungkap Detil Isi Fatwa MA Terkait Status Ahok)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.