Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ambang Batas dalam Pemilu

Kompas.com - 10/02/2017, 21:40 WIB

Apakah rencana sebagian partai politik di DPR untuk memberlakukan sistem proporsional tertutup dalam pemilihan umum legislatif tidak melawan putusan Mahkamah Konstitusi?

Apakah keinginan parpol-parpol untuk memberlakukan threshold (ambang masuk, ambang batas) dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden juga tidak bertentangan dengan putusan MK? Bukankah putusan MK bersifat final dan mengikat?

Itulah pertanyaan-pertanyaan yang sering kita dengar terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (RUU Pemilu) yang kini sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat.

Pertanyaan-pertanyaan itu wajar muncul karena dua hal. Pertama, berdasarkan Putusan MK Nomor 22-23/PUU-VI/2008, pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2009 dan 2014 diberlakukan sistem proporsional terbuka atau keterpilihan anggota legislatif berdasarkan urutan suara terbanyak. 

Kedua, berdasarkan Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013  pada Pemilu 2019, pileg dan pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) harus dilaksanakan secara serentak. Artinya, dilaksanakan pada hari yang sama sehingga tidak diperlukan adanya threshold. 

Pilihan terbuka

Sebenarnya, jika dibaca secara cermat, putusan-putusan MK tersebut sama sekali tidak menentukan apakah pemilu legislatif itu harus menggunakan sistem proporsional terbuka atau tertutup.

Begitu juga MK tidak menentukan apakah Pilpres 2019 harus memakai atau tidak memakai threshold. Menurut putusan MK, kedua hal tersebut merupakan opened legal policy atau pilihan politik hukum yang terbuka. Artinya, pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU (legislatif)  bebas untuk menentukan sendiri sebagai hak legislasi.

Ketika memutus berlakunya pemilu dengan sistem proporsional terbuka pada Pemilu 2009 melalui putusan No 22-23/PUU-VI/2008, sebenarnya bukan MK yang memberlakukan sistem tersebut.

Pada waktu itu yang memberlakukan adalah DPR dan pemerintah sendiri  melalui ketentuan Pasal 5 UU Nomor 10 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa pemilu legislatif "dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka" Adapun MK hanya mencoret prasyarat ambang batas yang dianggap tidak adil.

Pada waktu itu, UU No 10/2008 melalui Pasal 214, pada pokoknya, menentukan bahwa anggota legislatif terpilih ditentukan berdasarkan suara terbanyak secara berurutan dari antara para calon anggota legislatif (caleg) yang meraih suara "sekurang-kurangnya 30 persen" dari bilangan pemilih pembagi (BPP) di daerah pemilihan yang bersangkutan.

Jika tidak ada yang mencapai lebih dari 30 persen atau ada lebih dari satu calon yang mendapat lebih dari 30 persen dari BPP, keterpilihan anggota legislatif ditentukan berdasarkan nomor urut dari yang terkecil.

MK mencoret syarat 30 persen tersebut karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip "adil" sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945.

Sungguh tidak adil jika si Suparman yang hanya mendapat 350 suara menjadi anggota legislatif terpilih karena dia berada di nomor urut pertama dan menyingkirkan si Suparmin yang mendapat suara 70.000 yang berada di nomor urut ke-4  hanya karena  jumlah 70.000 tersebut tidak mencapai 30 persen dari BPP yang, misalnya, sebesar 215.000 suara.

Oleh sebab itu, MK membatalkan syarat 30 persen tersebut tanpa membatalkan sistem pemilu yang telah ditetapkan sendiri oleh lembaga legislatif.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kasus Eddy Hiariej Dinilai Mandek, ICW Minta Pimpinan KPK Panggil Jajaran Kedeputian Penindakan

Kasus Eddy Hiariej Dinilai Mandek, ICW Minta Pimpinan KPK Panggil Jajaran Kedeputian Penindakan

Nasional
KPU Undang Jokowi Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran Besok

KPU Undang Jokowi Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran Besok

Nasional
Cak Imin Mengaku Belum Dapat Undangan KPU untuk Penetapan Prabowo-Gibran

Cak Imin Mengaku Belum Dapat Undangan KPU untuk Penetapan Prabowo-Gibran

Nasional
Tentara AS Meninggal Saat Tinjau Tempat Latihan Super Garuda Shield di Hutan Karawang

Tentara AS Meninggal Saat Tinjau Tempat Latihan Super Garuda Shield di Hutan Karawang

Nasional
DKPP Terima 200 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu Selama 4 Bulan Terakhir

DKPP Terima 200 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu Selama 4 Bulan Terakhir

Nasional
Nasdem-PKB Sepakat Tutup Buku Lama, Buka Lembaran Baru

Nasdem-PKB Sepakat Tutup Buku Lama, Buka Lembaran Baru

Nasional
Tentara AS Hilang di Hutan Karawang, Ditemukan Meninggal Dunia

Tentara AS Hilang di Hutan Karawang, Ditemukan Meninggal Dunia

Nasional
Lihat Sikap Megawati, Ketua DPP Prediksi PDI-P Bakal di Luar Pemerintahan Prabowo

Lihat Sikap Megawati, Ketua DPP Prediksi PDI-P Bakal di Luar Pemerintahan Prabowo

Nasional
PDI-P Harap Pilkada 2024 Adil, Tanpa 'Abuse of Power'

PDI-P Harap Pilkada 2024 Adil, Tanpa "Abuse of Power"

Nasional
PKS Belum Tentukan Langkah Politik, Jadi Koalisi atau Oposisi Pemerintahan Prabowo-Gibran

PKS Belum Tentukan Langkah Politik, Jadi Koalisi atau Oposisi Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
KPK Duga Biaya Distribusi APD Saat Covid-19 Terlalu Mahal

KPK Duga Biaya Distribusi APD Saat Covid-19 Terlalu Mahal

Nasional
Anggap Jokowi dan Gibran Masa Lalu, PDI-P: Enggak Perlu Kembalikan KTA

Anggap Jokowi dan Gibran Masa Lalu, PDI-P: Enggak Perlu Kembalikan KTA

Nasional
Naik Kereta Cepat, Ma'ruf Amin Kunjungan Kerja ke Bandung

Naik Kereta Cepat, Ma'ruf Amin Kunjungan Kerja ke Bandung

Nasional
Harga Bawang Merah Melonjak, Mendag Zulhas: Karena Tidak Ada yang Dagang

Harga Bawang Merah Melonjak, Mendag Zulhas: Karena Tidak Ada yang Dagang

Nasional
Dua Tersangka TPPO Berkedok Magang Sembunyi di Jerman, Polri Ajukan Pencabutan Paspor

Dua Tersangka TPPO Berkedok Magang Sembunyi di Jerman, Polri Ajukan Pencabutan Paspor

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com