JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat untuk Keadilan Air mempertanyakan sulitnya akses terhadap naskah akademik Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air (UU SDA).
Sementara, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyatakan telah menyerahkan naskah akademik RUU SDA kepada Ketua Komisi V pada Kamis (26/1/ 2017).
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (Kruha) Muhammad Reza mengatakan, dengan tertutupnya akses terhadap naskah tersebut, Kruha curiga ada indikasi kesepakatan utang dengan Bank Dunia yang menuntut penetapan UU SDA yang lebih mengakomodasi kepentingan pasar.
"Proses pembuatan naskah akademik selalu tertutup selama dua tahun oleh Kementerian PUPR. Hingga saat ini Kruha belum bisa mengakses naskah akdemik RUU SDA," ujar Reza sebuah diskusi di kantor Konsorsium Pembaruan Agraria, Pancoran, Jakarta Selatan, Minggu (5/2/2017).
Reza menuturkan, pembahasan RUU SDA di DPR tersebut akan menggantikan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 85/PUU-XI/2013.
UU Nomor 7 tahun 2004, kata Reza, dibatalkan karena isi UU tersebut mendorong terjadinya komersialisasi dan privatisasi air.
MK melalui putusannya menyatakan air merupakan bagian dari hak asasi manusia. Dengan demikian pengelolaan air oleh negara harus inklusif dan tidak dimonopoli oleh perusahaan swasta.
Menurut Reza, sejak UU SDA dibatalkan, belum ada konsultasi publik yang diadakan oleh pemerintah terkait pembuatan RUU SDA yang baru.
Tanpa adanya partisipasi publik, maka praktik pengelolaan air ditengarai tidak akan banyak berubah.
"Praktik pengelolaan air saat ini masih lebih mementingkan upaya melakukan eksploitasi air, sehingga konservasi sebagai bagian penting dari keberlanjutan ketersediaan air diabaikan. Partisipasi masyarakat juga diabaikan," kata Reza.
Selain itu Reza juga mengingatkan kepada pemerintah dan DPR agar pembahasan RUU SDA harus berpijak pada putusan MK, di mana air dipandang sebagai hak sosial masyarakat, bukan sebagai komoditas ekonomi.
(Baca juga: "Masyarakat Masih Harus Bayar Mahal untuk Dapatkan Air Bersih")
Hal senada juga diungkapkan oleh Kepala Divisi Kampanye Walhi Khalisah Khalid. Dia menegaskan bahwa pembahasan RUU SDA harus berangkat dari fondasi filosofi air sebagai hak asasi.
Khalisah mengatakan, selama ini konflik agraria di sektor air banyak terjadi karena adanya privatisasi sumber-sumber air oleh perusahaan swasta.
Dia memcontohkan kasus konflik agraria yang terjadi di daerah Padarincang, Provinsi Banten, disebabkan masyarakat tidak lagi bisa mengakses air bersih sejak berdirinya perusahaan pengelola air minum.
"Air itu punya fungsi sosial dan fungsi ekonomi. Tapi fungsi ekonomi di UU SDA yang lama sangat menonjol. Semangat privatisasi sangat kental," ucapnya.