JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah dan DPR tengah membahas Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air (RUU SDA) yang akan menggantikan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Sebelumnya UU tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2013. Saat ini, RUU SDA diketahui masuk ke dalam prolegnas prioritas 2017.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil pun mendesak pemerintah dan DPR memperhatikan beberapa hal terkait pengelolaan air yang berpihak pada hak sosial masyarakat dalam pembahasan RUU SDA.
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (Kruha) Muhammad Reza mengatakan, praktik pengelolaan sumber daya air saat ini masih mementingkan aspek ekonomi dan ekploitasi tanpa memperhatikan aspek sosial bagi masyarakat.
"Kita tidak bisa menyangkal kenyataan masyarakat harus bayar mahal untuk dapatkan air bersih. Tentu saja air dipandang sebagai barang ekonomi. Dengan pandangan seperti itu kepemilikan hak kelola air oleh swasta dibenarkan," ujar Reza dalam diskusi terkait RUU SDA di kantor Konsorsium Pembaruan Agraria, Pancoran, Jakarta Selatan, Minggu (5/2/2017).
Melihat praktik komersialisasi yang mengkhawatirkan, Reza meminta pembahasan RUU SDA oleh pemerintah dan DPR dilakukan secara terbuka untuk menhindari terjadinya legalisasi praktik eksploitasi air lewat undang-undang.
Dia juga mendesak pertimbangan MK dijadikan sebagai landasan dalam membahas RUU SDA.
MK menekankan bahwa fungsi pengelolaan air oleh negara dilakukan pemerintah harus memenuhi kebutuhan pokok masyarakat.
Dalam putusan MK No. 85/PUU-XI/2013 tercantum bahwa air adalah hak publik yang dimiliki oleh masyarkat. Dengan demikian negara harus memegang hak penguasaan atas air secara penuh.
Selain itu konsep hak guna air untuk kepentingan ekonomi harus sejalan dengan res commune (hak publik) dalam pemenuhan kebutuhan pokok.
"Biaya operasional dan biaya modal pengelolaan air tidak boleh dibebankan ke masyarakat sebagai pengguna. Pemerintah harus paham soal tafsiran putusan MK terkait pembatalan UU Nomor 7 Tahun 2004 bahwa pengelolaan air tidak boleh berlandaskan pada komersialisasi," ucapnya.
Pada kesempatan yang sama, peneliti lingkungan hidup dari Center for Research on Environment, Appropriate Technology dan Advocacy (CREATA) Wahyu Perdana mengatakan, ada dua pendekatan yang harus diterapkan dalam pembahasan RUU SDA.
Pertama, sumber daya air harus dipandang sebagai bagian dari hak asasi manusia. Wahyu mengkritisi penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 121 Tahun 2015 tentang Pengusahaan Sumber Daya Air dan PP Nomor 122 tentang Sistem Penyediaan Air Minum yang tidak meletakkan air sebagai hak.
Kedua, soal partisipasi publik dalan pembahasan RUU SDA. Wahyu menuturkan partisipasi publik penting untuk memastikan peraturan perundang-undangan berpihak pada kepentingan publik.
"Dua pendekatan itu yang harus menjadi perhatian masyarakat dan DPR dalam pembasan RUU SDA," ujar Wahyu.