JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Agung Muhammad Prasetyo enggan menanggapi keputusan pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dengan cara non yudisial atau rekonsiliasi.
Ia menganggap Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto yang berhak angkat bicara soal itu.
"Tanya ke pak Wiranto. Satu pintu, tanyakan ke Polhukam," kata Prasetyo di kompleks Mabes Polri, Jakarta, Jumat (3/2/2017).
Padahal, Kejaksaan Agung merupakan eksekutor dari kasus-kasus pelanggaran HAM itu.
(Baca: Polemik Rencana Rekonsiliasi Kasus Trisakti-Semanggi)
Sebelum pemerintah mengambil keputusan tersebut, sempat muncul rencana pembentukan Dewan Kerukunan Nasional. Dewan ini menggantikan peran Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional yang sudah ditolak pembentukannya oleh Mahkamah Konstitusi.
Saat itu, Prasetyo menyambut baik soal Dewan Kerukunan Nasional. Menurut dia, sulit menangani kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu karena ada yang terjadi puluhan tahun sebelumnya.
Upaya rekonsiliasi itu diputuskan Wiranto bersama Komisioner Komnas HAM dalam penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II (kasus TSS).
Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat mengatakan, keputusan tersebut diambil berdasarkan sikap politik pemerintah saat ini. Ia mengaku sulit untuk memaksakan penyelesaian kasus TSS melalui jalur pengadilan HAM ad hoc.
(Baca: Pemerintah Putuskan Penyelesaian Kasus Trisakti dan Semanggi Melalui Jalur Rekonsiliasi)
Terlebih lagi, selama ini pihak Kejaksaan Agung juga tidak bisa bekerja sama dalam menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM.
"Kami memang mendorong jalur yudisialnya, tetapi kalau kemudian Kejaksaan Agung-nya tidak kooperatif terus, apa yang bisa dilakukan oleh Komnas HAM? Karena kalau penyelidik itu harus bekerja sama dengan penyidik," kata dia.
Sementara itu, kata Wiranto, pemerintah menginginkan adanya bentuk penyelesaian kasus HAM masa lalu tanpa menimbulkan masalah baru.