Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Polemik Rencana Rekonsiliasi Kasus Trisakti-Semanggi

Kompas.com - 03/02/2017, 08:13 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah akhirnya memutuskan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM Tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II (TSS) melalui jalur non-yudisial atau rekonsiliasi.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly membenarkan adanya rencana tersebut. Menurut Yasonna, upaya rekonsiliasi telah ditetapkan melalui beberapa kali rapat.

Dan diputuskan bahwa jalur non yudisial merupakan solusi terbaik untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu, termasuk kasus TSS.

"Rencana itu sudah beberapa kali dibicarakan jadi daripada kita harus pro yustisia ya dicarilah jalan yang lebih baik, sebaiknya kita selesaikan dengan cara non yudisial," ujar Yasonna saat ditemui di Hotel Sari Pan Pasific, Jakarta Pusat, Kamis (2/2/2017).

Menurut Yasonna, keputusan tersebut salah satunya berangkat dari alasan Kejaksaan Agung yang kesulitan dalam mencari alat bukti dalam proses penyidikan.

Dengan demikian kasus TSS mustahil untuk diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc. Selain itu, kata Yasonna, untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc dibutuhkan persetujuan dari DPR.

"Kejaksaan mengatakan sulit sekali mendapat bukti-bukti, karena itu sulit sekali untuk dibawa ke pengadilan," ungkap Yasonna.

Meski demikian Yasonna mengakui bahwa pemerintah belum menemukan konsep rekonsiliasi yang tepat untuk menyelesaikan kasus TSS.

(Baca: Tragedi Trisakti-Semanggi, Menkumham Sebut Rekonsiliasi Cara Terbaik)

Untuk membuat konsep rekonsiliasi tersebut, lanjut Yasonna, Presiden Joko Widodo akan membentuk sebuah tim perumus yang melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dan pegiat HAM.

"Kemarin kan kami sudah sepakati akan ada satu tim, melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, itu sudah kami pikirkan," tuturnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto.

Saat coba dikonfirmasi Kompas.com, Wiranto membenarkan adanya rencana rekonsiliasi dalam menuntaskan kasus TSS.

(Baca: Pemerintah Putuskan Penyelesaian Kasus Trisakti dan Semanggi Melalui Jalur Rekonsiliasi)

Namun, Wiranto belum bisa menjelaskan konsep rekonsiliasi yang akan diterapkan oleh pemerintah.

"Iya itu ada. Nanti saya jelaskan. Saya belum bisa jelaskan sekarang," ujar Wiranto singkat.

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Imdadun Rahmat mengaku sulit untuk memaksakan penyelesaian kasus TSS melalui jalur pengadilan HAM ad hoc.

Menurut Imdadun, selain karena pilihan politik pemerintah, selama ini pihak Kejaksaan Agung juga tidak bisa bekerjasama dalam menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM.

"Kami memang mendorong jalur yudisialnya tapi kalau kemudian Kejaksaan Agungnya tidak kooperatif terus apa yang bisa dilakukan oleh Komnas HAM. Karena kalau penyelidik itu harus bekerja sama dengan penyidik," ujar Imdadun saat ditemui di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Senin (30/1/2017).

Imdadun menuturkan, dengan kondisi politik saat ini, sulit jika upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu hanya mengandalkan satu opsi.

Dia menegaskan bahwa saat ini Komnas HAM akan terus berkomunikasi dengan pemerintah terkait konsep rekonsiliasi agar tetap memenuhi prinsip-prinsip universal HAM dan pemenuhan hak korban.

"Bagaimana caranya (rekonsiliasi) masih akan kami bicarakan dalam hal ini Komnas menjaga agar prinsip-prinsip HAM dalam rekonsiliasi itu terpenuhi," ucapnya.

Namun pada Kamis (2/2/2017), Imdadun mengatakan, penyelesaian kasus TSS tak sepenuhnya dituntaskan lewat rekonsiliasi. 

"Jadi saya tekankan tidak ada kesepakatan bahwa pelanggaran berat HAM masa lalu diselesaikan murni dengan metode non pro-justicia atau pro-justicia. Komnas HAM hingga hari ini menempuh dua cara, yudisial dan non-yudisial," ujar Imdadun.

(Baca: Komnas HAM: Belum Ada Kesepakatan Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu)

 

Janggal

Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang penegakan HAM menilai ada kejanggalan dalam penetapan rencana rekonsiliasi.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar mengatakan, ada banyak aspek yang menunjukan bahwa rekonsiliasi seolah dibuat untuk meniadakan kejahatan dan pertanggungjawaban pejabat negara.

Pertama, adanya aspek error in persona, sebab keputusan rekonsiliasi dibuat saat Wiranto menjabat sebagai Menko Polhukam.

(Baca: Rekonsiliasi Kasus Trisakti-Semanggi Dinilai Tak Sesuai Asas Keadilan)

Sementara, kata Haris, dalam penyelidikan Komnas HAM tahun 2002 Wiranto disebut sebagai salah satu pejabat negara yang bertanggungjawab saat kasus Trisakti dan Semanggi terjadi.

"Keputusan ini bisa dilihat sebagai cara mengaburkan kejahatannya melalui jabatannya dengan membuat cara yang seolah menyelesaikan padahal justru meniadakan kejahatan dan tanggungjawabnya," ujar Haris saat dihubungi, Kamis (2/2/2017).

Aspek kedua, konsep rekonsiliasi tidak memiliki rujukan hukum yang kuat. Aspek ketiga, tidak relevannya alasan Kejaksaan Agung yang kesulitan mencari alat bukti.

Menurut Haris, Kejaksaan Agung sebenarnya bisa meneruskan hasil penyelidikan Komnas HAM dan melakukan penyidikan dengan memeriksa Wiranto.

"Kalau Jaksa Agung katakan alat bukti tidak ada, memangnya dia sudah melakukan apa? Harap alasan itu dijelaskan ke masyarakat agar tidak menjadi hoax," kata Haris.

Karena merasa ada yang salah dengan kebijakan rekonsiliasi, Kontras pun melaporkan Wiranto dan Komnas HAM ke Ombudsman Republik Indonesia.

Sementara itu, Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani memandang bahwa upaya rekonsiliasi merupakan langkah yang keliru dan melawan asas keadilan publik.

Ismail menuturkan, jika merujuk pada Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, mekanisme non yudisial hanya dibenarkan jika secara teknis hukum sulit diperoleh bukti-bukti yang dapat dijadikan dasar penyelidikan, penyidikan, dan pemeriksaan di pengadilan HAM.

Selain itu menurut Ismail, pilihan rekonsiliasi dalam menyelesaikan kasus TSS diduga terdapat bias politik dan menjadi keputusan yang pragmatis.

Ismail mengatakan, pada saat kasus Trisakti dan Semanggi terjadi, Wiranto memegang komando tertinggi atas TNI dan Polri.

Seharusnya Wiranto dan beberapa pejabat TNI/Polri saat itu dimintai keterangan dan pertanggungjawaban.

Dengan demikian, secara moral dan politis, penyelesaian kasus TSS tidak bisa diselesaikan melalui rekonsiliasi.

Ismail pun meminta Presiden Joko Widodo mengambil sikap tegas, sebagaimana dijanjikan dalam Nawacita dan RPJMN 2015-2019.

Presiden Jokowi, lanjut Ismail, pernah berjanji bahwa penyelesaian pelanggaran HAM akan dilakukan setelah proses pengungkapan kebenaran terlebih dulu oleh suatu komite khusus.

Komisi tersebut yang akan menentukan pilihan jalur yudisial atau non yudisial untuk menyelesaikan warisan pelanggaran HAM masa lalu.

Tragedi Trisakti terjadi pada 12 Mei 1998. Aparat keamanan melakukan penembakan terhadap mahasiswa yang sedang melakukan demonstrasi ke DPR menuntut turunnya Soeharto.

(Baca: Kontras Laporkan Wiranto dan Komnas HAM ke Ombudsman)

Akibatnya, empat mahasiswa Trisakti tewas terkena timah panas aparat. Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie.

Pada 13 November 1998 terjadi peristiwa serupa yang dikenal dengan Tragedi Semanggi I. Saat itu mahasiswa berdemonstrasi menolak Sidang Istimewa yang dinilai inkonstitusional, menuntut dihapusnya dwifungsi ABRI dan meminta Presiden untuk segera mengatasi krisis ekonomi.

Mahasiswa dihadang aparat bersenjata lengkap dan kendaraan lapis baja. Ketika mahasiswa mencoba bertahan, tiba-tiba terjadi penembakan oleh aparat.

Kemudian pada 24 September 1999, mahasiswa kembali berdemonstrasi menolak rencana pemberlakuan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya.

Aturan yang sedianya akan menggantikan UU Subversif, dianggap terlalu otoriter. Aksi penolakan yang dilakukan oleh mahasiswa kembali menelan korban.

Tercatat sebelas orang meninggal dunia akibat penembakan yang dilakukan oleh aparat keamanan.

Salah satunya Yap Yun Hap, mahasiswa Universitas Indonesia. Yap Yun Hap tertembak tepat di depan kampus Atma Jaya Jakarta.

Hasil penyelidikan Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II pada bulan Maret 2002, menyatakan bahwa ketiga tragedi tersebut bertautan satu sama lain.

KPP HAM TSS juga menyatakan, bahwa “…terdapat bukti-bukti awal yang cukup bahwa di dalam ketiga tragedi telah terjadi pelanggaran berat HAM yang antara lain berupa pembunuhan, peganiayaan, penghilangan paksa, perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik yang dilakukan secara terencana dan sistematis serta meluas…”.

Komnas HAM melalui KPP HAM TSS merekomendasikan untuk melanjutkan penyidikan terhadap sejumlah petinggi TNI/POLRI pada masa itu. Namun hingga saat ini Kejaksaan Agung belum meneruskan berkas penyelidikan tersebut ke tahap penyidikan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

Nasional
DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

Nasional
Komisi II Sebut 'Presidential Threshold' Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

Komisi II Sebut "Presidential Threshold" Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

Nasional
Prabowo Nyanyi 'Pertemuan' di Depan Titiek Soeharto: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

Prabowo Nyanyi "Pertemuan" di Depan Titiek Soeharto: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

Nasional
Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Nasional
Politikus Senior PDI-P Tumbu Saraswati Meninggal Dunia, Penghormatan Terakhir di Sekolah Partai

Politikus Senior PDI-P Tumbu Saraswati Meninggal Dunia, Penghormatan Terakhir di Sekolah Partai

Nasional
Bubar Jalan dan Merapat ke Prabowo, Koalisi Perubahan Dinilai Hanya Jual Gimik Narasi Kritis

Bubar Jalan dan Merapat ke Prabowo, Koalisi Perubahan Dinilai Hanya Jual Gimik Narasi Kritis

Nasional
Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, PPP: Tak Ada Lagi Koalisi 01 dan 03

Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, PPP: Tak Ada Lagi Koalisi 01 dan 03

Nasional
CSIS: Pemilu 2024 Hasilkan Anggota DPR Muda Paling Minim Sepanjang Sejarah sejak 1999

CSIS: Pemilu 2024 Hasilkan Anggota DPR Muda Paling Minim Sepanjang Sejarah sejak 1999

Nasional
PPATK Koordinasi ke Kejagung Terkait Aliran Dana Harvey Moeis di Kasus Korupsi Timah

PPATK Koordinasi ke Kejagung Terkait Aliran Dana Harvey Moeis di Kasus Korupsi Timah

Nasional
Prabowo-Titiek Soeharto Hadiri Acara Ulang Tahun Istri Wismoyo Arismunandar, Ada Wiranto-Hendropriyono

Prabowo-Titiek Soeharto Hadiri Acara Ulang Tahun Istri Wismoyo Arismunandar, Ada Wiranto-Hendropriyono

Nasional
Banyak Catatan, DPR Dorong Revisi UU Pemilu Awal Periode 2024-2029

Banyak Catatan, DPR Dorong Revisi UU Pemilu Awal Periode 2024-2029

Nasional
Pakar Ragu UU Lembaga Kepresidenan Terwujud jika Tak Ada Oposisi

Pakar Ragu UU Lembaga Kepresidenan Terwujud jika Tak Ada Oposisi

Nasional
Istana Sebut Pertemuan Jokowi dan Prabowo-Gibran Semalam atas Inisiatif Prabowo

Istana Sebut Pertemuan Jokowi dan Prabowo-Gibran Semalam atas Inisiatif Prabowo

Nasional
Presiden Jokowi Ucapkan Selamat Saat Bertemu Prabowo Semalam

Presiden Jokowi Ucapkan Selamat Saat Bertemu Prabowo Semalam

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com