Undang-Undang No 31/1999 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi juncto UU No 20/2001 tentang Perubahan atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menjadi landasan bagi upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi mengalami perubahan mendasar.
Perubahan pertama terjadi pada 24 Juli 2006 ketika Mahkamah Konstitusi melalui putusan No 003/PUU-IV/2006 menyatakan norma Penjelasan Pasal 22 Ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) bertentangan dengan konstitusi sehingga menjadi norma formil.
Perubahan kedua terjadi pada 25 Januari 2017, kembali MK melalui putusannya No 25/PUU-XIV/2016 menyatakan, frasa kata "dapat" dalam rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan konstitusi sehingga "tidak mengikatnya" kata "dapat" menjadikan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor menjadi delik materiil.
Kedua perubahan di atas dianggap oleh sebagian masyarakat akan merugikan upaya pemerintah dalam upaya mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.
Sementara sebagian masyarakat lain beranggapan sebagai bagian dari upaya menegakkan hukum korupsi secara benar dan konsekuen.
Mundur atau maju?
Pertimbangan putusan MK di dalam perubahan pertama terkait norma dari rumusan frasa "secara melawan hukum" adalah perbuatan yang hanya bertentangan dengan hukum tertulis, sedangkan hukum tidak tertulis tidak lagi masuk di dalamnya.
Hal ini dikarenakan hukum tidak tertulis menimbulkan ketakpastian lantaran adanya kondisi dan pemahaman masyarakat yang berbeda-berbeda dan berubah-ubah dari waktu ke waktu sehingga akan berbeda-beda pula di setiap waktu dan tempat.
Perubahan ini dianggap mempersempit ruang bagi hakim untuk menggali dan menemukan hukum sehingga hakim hanyalah corong UU atau hukum tertulis belaka.
Sementara pertimbangan MK dalam perubahan kedua terkait kata "dapat" dari rumusan "...dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" yang dianggap bertentangan dengan konstitusi karena rumusan ini sering disalahgunakan oleh aparatur penegak hukum untuk bertindak sewenang-wenang; sering menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran bagi pejabat pengambil keputusan; serta sering terjadi kriminalisasi terhadap kebijakan dan keputusan diskresi pejabat administrasi.
Pertimbangan dan alasan perubahan pertama, menurut penulis, sebuah "kemunduran" karena di dalam masyarakat kita sejak dahulu memiliki hukum tidak tertulis yang ditaati dan dipatuhi oleh masyarakat, termasuk adat istiadat, khususnya di daerah-daerah terpencil.
Hal ini jelas mempersempit ruang hakim untuk menentukan perbuatan melawan hukum mana yang menjadi syarat bagi seseorang dapat dipidana. Dalam hal ini, hakim tinggal melihat apakah ada hukum tertulis yang mengatur mengenai perbuatan pidana tersebut (asas legalitas).
Pertimbangan dan alasan perubahan kedua, sebuah "kemajuan" (sekalipun alasannya subyektif) karena perubahan itu memperjelas dan memperkuat aspek perlindungan hukum dalam penegakan hukum korupsi.
Dalam praktik di tingkat penyidikan dan peradilan tipikor sering seseorang ditahan dan dihukum karena melakukan perbuatan melawan hukum korupsi Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, sekalipun kerugian negara riil tak terbukti.
Dari sisi penegakan hukum korupsi, adanya perubahan kedua ini menjadikan unsur "merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" harus dibuktikan secara materiil dan hakim dalam membuat putusan harus mempertimbangkan pembuktian seluruh unsur pidana dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor.