JAKARTA, KOMPAS.com – Seorang mantan pegawai Kementerian Keuangan, Triyono Utomo Abdul Sakti, dideportasi Pemerintah Turki atas dugaan ingin bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Namun, Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai bukan perkara mudah bagi pemerintah atau siapa pun, untuk mencegah seseorang bergabung dengan kelompok tersebut.
"Yang paling sulit itu, Anda boleh memeriksa dokumen orang, tapi memeriksa pikiran orang itu paling susah," kata Kalla di Istana Wapres, Jumat (27/1/2017).
Ia menambahkan, pemerintah memiliki otoritas untuk mengecek latar belakang seseorang ketika seseorang hendak bepergian ke luar negeri. Pengecekan itu dilakukan baik melalui dokumen atau informasi yang tersimpan sebelumnya.
"Tapi memeriksa pikiran kamu, bagaimana caranya? Sama juga pemerintah bisa mengecek KTP-nya atau prestasi pegawai, tapi pikirannya kita tidak bisa duga," ujarnya.
Wapres menegaskan, setiap warga negara yang bekerja sebagai aparatur sipil negara, telah mengetahui hak dan kewajibannya.
Oleh sebab itu, mereka akan mendapatkan sanksi bila terbukti melakukan kesalahan atau terlibat dalam sebuah kelompok terlarang.
"Nanti risiko kan ada juga," kata Wapres.
(Baca: Diduga Terkait ISIS, Ini Alasan Eks Pejabat Kemenkeu Berhenti Jadi PNS)
Triyono dideportasi dari Turki bersama empat orang WNI lainnya yang diduga istri dan tiga anaknya. Mereka mendarat di Bali menggunakan penerbangan Emirates Airlines pada Rabu (24/1/2017).
Berdasarkan pemeriksaan Polri, Triyono Utomo Abdul Sakti dan keluarganya meninggalkan Indonesia menuju Thailand pada 16 Agustus 2016. Setelah itu mereka meneruskan penerbangan ke Turki.
Di Turki, Triyono sempat berpindah-pindah penginapan termasuk tinggal dipenampungan selama tiga bulan dengan tujuan ke Suriah. Namun ia tertangkap oleh Tentara Turki pada 16 Januari 2017 bersama 20 orang lainnya.
Biaya yang digunakan Triyono untuk menuju Suriah berasal dari hasil penjualan rumahnya.
(Baca: Jual Harta Benda, Mantan Pejabat Kemenkeu Ingin Gabung ISIS)