JAKARTA, KOMPAS.com - Dosen Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Dirga Ardiansa mengatakan, penyederhanaan partai di parlemen melalui peningkatan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) berpotensi mengurangi persentase perempuan di parlemen.
"Partai kuat yang akan bertahan. Partai menengah ke bawah akan kesulitan di parlemen dan itu konsekuensinya keterpilihan perempuan semakin mengkhawatirkan," kata Dirga, di kawasan Cikini, Jakarta, Selasa (24/1/2017).
Dirga menyebutkan, jika berkaca dari dua kali penyelenggaraan pemilu legislatif, 2009 dan 2014, partai besar seperti PDI-P dan Golkar memiliki kontribusi yang kecil terhadap keterwakilan perempuan di parlemen.
Keterwakilan perempuan di parlemen justru datang dari partai menengah dan kecil.
"Justru partai menengah ke bawah, Demokrat, Nasdem, PPP, itu justru berkonstribusi positif," ujar Dirga.
Ia menyebutkan, pada pemilu legislatif yang diikuti 38 partai tahun 2009, perempuan menempati 101 dari 560 kursi.
Pada 2014, setelah partai menyusut menjadi 12 partai, keterwakilan perempuan menurun menjadi 97 kursi dari 560 kursi parlemen.
Dalam Rancangan Undang-Undang Pemilu, pemerintah mengusulkan ambang batas parlemen sebesar 3,5 persen.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo berharap terjadi peningkatan ambang batas parlemen pada Pemilu 2019.
Menurut dia, peningkatan ambang patas parlemen penting untuk menjaga kualitas pemilu.
Sebab, dengan adanya ambang batas menunjukkan bahwa tak sembarang partai politik (parpol) bisa memperoleh kursi di parlemen.
Tjahjo menyebutkan, usulan ambang batas parlemen 0 persen tidak selaras dengan peningkatan kualitas pemilu seperti yang diharapkan pemerintah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.