JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus AT Napitupulu mengatakan, Rancangan Undang-Undang Antiterorisme perlu memasukkan ketentuan penanganan korban terorisme.
Menurut dia, ketentuan terkait korban terorisme belum diatur dalam draf RUU Antiterorisme. Untuk itu, Erasmus memberikan sejumlah usulan kepada pemerintah dan DPR.
Pertama, Erasmus menyebutkan bahwa pemerintah dan DPR harus memasukkan ketentuan hak korban seperti pemberian kompensasi. Kompensasi, kata dia, merupakan tanggung jawab negara terhadap korban.
"Kompensasi dalam UU (Pemberantasan) Terorisme (Nomor) 15 Tahun 2003 itu pengadilan yang harus memutuskan. Harusnya ini tanggung jawab negara," kata Erasmus di aula Dewan Pers, Jakarta, Sabtu (14/1/2017).
Menurut Eramus, kompensasi kepada korban tidak perlu diberikan melalui putusan pengadilan. Bila menungu putusan pengadilan, hak korban terancam lenyap sebab jarang sekali pelaku selamat setelah bom meledak.
"Bukan karena kami dukung terorisme tapi karena kami sadar kalau pelaku tidak ditangkap korban tidak dapat haknya. Makanya kita berharap tidak ada lagi syarat putusan pengadilan untuk berikan kompensasi," ucap Erasmus.
Kedua, Erasmus mengusulkan dibuatnya perluasan definisi korban tindak pidana terorisme. Korban terorisme, lanjut dia, tidak hanya dipandang sebagai luka fisik, melainkan juga psikologis.
"Korban itu bagi mereka yang terdampak langsung di tempat kejadian. Memang sudah diatur dalam UU LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) tapi ini harus dibunyikan kembali," ujar Erasmus.
Ketiga, Erasmus menyebutkan penanganan cepat terhadap korban sangat diperlukan. Hak korban berupa tindakan medis dan psikologis harus diberikan secara sistematis.
Untuk melaksanakan hal itu, kerja sama lintas lembaga diperlukan. Antara lain Kementerian Sosial, Polri, dan LPSK.