KOMPAS.com - Hanya beberapa pekan lagi, masyarakat di 101 daerah terdiri atas tujuh provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota yang menggelar Pilkada serentak 2017 akan menentukan pilihannya. Sayangnya, hingga saat ini, hanya Pilkada Jakarta yang menguasai bahkan cenderung mencengkam panggung media.
Hampir tak ada kabar pilkada di luar Jakarta, selain Pemilihan Gubernur Banten yang mencuri pemberitaan media arus utama (mainstream). Kecenderungan yang terjadi, media konstan memberitakan Pilkada Jakarta.
Semakin miris jika Anda menengok media baru (new media) dalam hal ini media online yang dijubeli informasi dan berita tentang persaingan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, Anies Baswedan dan Agus Yudhoyono berebut posisi DKI 1.
Memang benar, tak sedikit pertarungan ide ketiga calon Gubernur tersebut menarik dan menginspirasi bagi daerah lain, sayangnya banyak pula retorika para calon terutama penantang yang menggelitik kalau tak ingin disebut menyedihkan.
Tak bisa dibayangkan efeknya di masa mendatang jika wacana-wacana menyedihkan yang dilontarkan secara sadar di Jakarta yang menjadi barometer dialektika itu lantas direplikasi secara sadar oleh beberapa calon kepala daerah agar terlihat keren dan kekinian.
Kenyataan dan kemungkinan ini tak dapat diabaikan mengingat Jakarta terlanjur diposisikan sebagai pusat segala hal: pusat administrasi pemerintahan dan pusat bisnis sekaligus artinya pusat informasi karena terjadinya sentralisasi korporasi media pun terjadi di Ibu Kota.
Berjubelnya media di Jakarta menciptakan kondisi informasi Jakarta menghegemoni dialektika daerah-daerah. Sementara hal-hal baik dari daerah termasuk calon pemimpin yang baik pun andai muncul masih dapat dihitung dengan jari.
Padahal jika jeli, ajang Pilkada tak sedikit menghasilkan bibit-bibit potensial pemimpin nasional selain Joko Widodo dari Solo dan Ahok di Bangka Belitung, ada pula Risma di Surabaya, Suyoto di Bojonegoro maupun Nurdin Abdullah di Bantaeng maupun pemimpin-pemimpin daerah yang telah melakukan terobosan.
Tak hanya itu, contoh baik lain di daerah adalah ketika isu agama calon pemimpin DKI kali ini menggelegar dipolitisasi faktanya sudah beberapa Pilkada pasangan berbeda agama maju tanpa persoalan berarti. Tak sedikit bahkan menang.
Sebagai contoh selain Jokowi dan Ahok, ada Teras Narang di Kalimantan Tengah, Karel Alberth Ralahalu di Maluku dan Abraham Octavianus Atururi di Papua Barat.
Tahun ini bahkan ada kasus unik, bahkan di dunia sekalipun namun sayangnya itu terjadi di sudut Indonesia. Ketika pasangan Pastor dan Ustad yaitu Pastor Rantinus Manalu Pr dan Ustadz Sodikin Lubis bertarung di Pilkada Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Romo Rantinus merupakan imam Keuskupan Sibolga maju sebagai calon bupati. Sedangkan Ustadz Sodikin sebagai calon wakil. Tak main-main, pasangan yang pernah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sumut pada 2012 dan kemudian mentahbiskan diri dengan akronim PAUS itu maju melalui jalur independen.
Sayangnya, contoh-contoh baik nan menginspirasi itu terjadi di luar Jakarta dimana suara-suara tersebut terdengar sayup bahkan lirih tak terdengar sehingga dapat dipancarluaskan oleh media-media arus utama (mainstream) untuk kemudian diamplifikasi oleh media sosial.
Jika kita membahas media arus utama yang paling diakses masyarakat dalam hal ini adalah televisi, maka kondisi ini tak lepas dari ketidaktegasan pemerintah, siapapun Presiden dan Menterinya, sebagai regulator dalam melaksanakan sistem televisi berjaringan yang seharusnya diberlakukan sejak 2009.
Benar bahwa, sejumlah televisi di daerah telah bermitra dengan televisi nasional namun pada kenyataannya dapat Anda lihat siaran berita lokal masih terpinggirkan oleh praktik relay berita-berita Jakarta sehingga membuat semangat keberagaman isi siaran (diversity of content) memudar.