JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Imparsial menilai program bela negara yang diinisiasi Kementerian Pertahanan belum memiliki konsep yang jelas.
Hal itu menimbulkan berbagai persepsi masyarakat, baik secara negatif maupun positif terhadap program bela negara.
"Konsep Kemenhan tidak jelas, sulit dipahami, sempit, dan cenderung militeristik. Ini yang akhirnya menimbulkan banyak tafsir," ujar Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri di Kantor Imparsial Jakarta, Selasa (10/1/2017).
Apalagi, menurut Gufron, apabila program tersebut diikuti oleh organisasi masyarakat yang selama ini sering dikritik publik soal isu keberagaman dan aksi kekerasan.
Menurut Gufron, program bela negara seharusnya dibuat berdasarkan landasan hukum yang jelas. Regulasi harus memuat konsep utama, tujuan, dan alasan mengapa program tersebut harus dijalankan.
Tanpa konsep yang jelas, menurut Gufron, sebagian masyarakat justru menganggap program bela negara sebagai program militer.
Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran mengenai adanya upaya penguatan budaya militer di masyarakat.
"Ada kekhawatiran berkembangnya budaya militer, di mana masyarakat cenderung main hakim sendiri. Itu pernah terjadi di awal era demokrasi, saat rezim pemimpin menggunakan kelompok milisi untuk melawan masyarakat yang menuntut demokrasi," kata Gufron.
Sebelumnya, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan bahwa program bela negara menjadi salah satu fokus utama kementeriannya saat ini.
(Baca: Dua Tahun Pemerintahan, Bela Negara Jadi Fokus Kemenhan)
Program tersebut dianggap juga mampu menangkal paham radikalisme yang masuk ke Indonesia.
"Dulu orang-orang enggak mengerti bela negara. Begitu setahun (berjalan), banyak yang ikut bela negara. Berarti semuanya ingin melawan ISIS (paham radikal)," ujar Ryamizard.