JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz, berpendapat bahwa upaya pencegahan korupsi dapat dilakukan dengan berbagai cara, termasuk pencabutan hak politik bagi terdakwa kasus korupsi.
Namun, pencabutan hak politik bagi terdakwa memang tidak mudah diterapkan. Menurut Donal, perlu adanya sikap konsisten antara jaksa dan hakim dalam menegakkan hukum atas masalah ini.
"Dua-duanya harus konsisten, baik dari penegak hukum maupun pengadilan sendiri," ujar Donal saat dihubungi, Jumat (6/1/2017).
Menurut Donal, hakim tidak bisa memberikan vonis pencabutan hak politik bagi terdakwa jika jaksa tidak mencantumkan dalam tuntutan tersebut.
"Sebab akan menimbulkan hal yang kontroversial. Jadi tentu harus dimulai dari jaksa dan kemudian oleh hakim," kata dia.
Menurut Donal, pada berapa persidangan ada hakim yang memvonis terdakwa dengan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik. Namun, sejumlah hakim lainnya masih enggan memberikan vonis seperti itu.
Donal mencontohkan pada kasus suap rancangan peraturan daerah terkait reklamasi atas terdakwa mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohammad Sanusi.
Majelis hakim saat itu tidak menyertakan vonis pencabutan hak politik seperti tuntutan jaksa KPK. (Baca: Pertimbangan Hakim Tak Cabut Hak Politik Sanusi)
Menurut Donal, ada sikap inkonsisten oleh hakim tersebut dalam upaya penegakan hukum yang berorientasi pada pencegahan korupsi dan menimbulkan efek jera.
"Dalam kasus Sanusi, hak politiknya tidak dicabut, padahal jaksa sudah menuntut. Saya melihat masalahnya pada hakim yang tidak punya kesatuan pandangan dan konsistensi menerima pencabutan hak politik," kata dia.
Ia menambahkan, ke depan jaksa harus selalu menyertakan tuntutan pencabutan hak politik bagi terdakwa kasus korupsi.
Di sisi lain, hakim juga harus memahami bahwa pemidanaan politik ini guna menimbulkan efek jera agar tidak lagi ada kasus korupsi.
"Harusnya hakim sensitif dan peka bahwa ketika hak politik tidak dicabut, nanti setelah dia (terpidana) menyelesaikan hukuman, maka berpotensi (kembali) masuk lagi ke lembaga politik, baik lembaga pemerintah atau DPR. Potensi melakukan kejahatan yang sama bisa dilakukan kembali," kata Donal.