JAKARTA, KOMPAS.com - Dalam satu bulan ke depan, sebanyak 101 daerah akan melangsungkan pilkada serentak, tepatnya pada 15 Februari 2017.
Momen tersebut diharapkan menjadi pembelajaran bagi masyarakat untuk memilih pemimpin secara rasional.
Namun, peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia (PSIK Indonesia), Arif Susanto, menyatakan bahwa hingga saat ini kampanye pilkada 2017 masih dipenuhi isu politik primordial berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan.
Menurut dia, hal itu masih terjadi di beberapa daerah, khususnya di DKI Jakarta.
"Tak ada yang salah bila membangkitkan dukungan emosional lewat primordialisme. Namun tidak benar jika itu ditempatkan untuk membenci pihak yang berbeda," kata Arif dalam sebuah diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (3/1/2017).
Hal tersebut, kata Arif, akhirnya mengarah pada konflik horizontal. Pada akhirnya, Arif menuturkan, muncul anggapan publik bila pilkada-lah yang menyebabkan konflik.
Itu diperkuat pula oleh pernyataan Kapolri dan Kapolda setempat yang selalu menyematkan status rawan konflik di daerah yang tengah menyelenggarakan pilkada.
(Baca juga: Pimpinan Komisi II Nilai Pilkada Aceh, DKI, dan Papua Rawan Konflik)
Dengan demikian, kata Arif, masyarakat berpotensi menjadi antipati terhadap pilkada.
"Ini hampir terjadi di setiap pilkada. Dan ini pula yang masih menjadi PR bagi kita," ucap Arif.
"Yang harus diupayakan ke depannya ialah menjadi momen menyajikan wacana politik yang rasional di pilkada," kata dia.