KOMPAS.com — Maghribpenghujung Desember 2009 hampir usai. Alam bersiap menanti kemangkatan seorang anak manusia yang dicintai Allah.
Presiden ke-7 Indonesia yang kala itu menjenguk ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo jadi saksi terakhir kehidupan Gus Dur di muka bumi. Sejak pukul 18.45, Gus Dur resmi memasuki gerbang Kesejatian.
Ia meninggalkan kefanaan dunia yang kian rentan. Bangsa ini seketika gempar, setelah sebelumnya ditinggal pergi Mbah Surip dan budayawan kesohor, WS Rendra.
Enam puluh sembilan tahun masa bakti jabatan Gus Dur sebagai manusia berlangsung indah. Rekam jejaknya tercatat dengan tinta emas.
Kehadiran keluarga, sanak semenda, hingga yang memusuhinya adalah bukti Gus Dur berhasil menjadi manusia Indonesia paripurna. Sempurna pikir, laku, dan sikap.
Gus Dur yang tak jemu membawa Merah Putih Indonesia dalam dadanya termasuk orang yang paling gemar merepotkan diri wara-wiri mengurusi perkara umat yang sedang diayominya, bahkan sampai ke mancanegara.
Maka dari itu, wajar jika kemudian Gus Dur menjadi milik siapa saja. Ia dicintai semua umat beragama, termasuk yang enggan ber-Tuhan sekalipun.
Gus Dur tak hanya menjelma menjadi Indonesia. Ia malah telah mengajari kita bagaimana caranya merahmati alam semesta dan seisinya.
Hingga Jumat (23/12/2016) malam, pada haul ketujuh kewafatan Gus Dur, saya kembali membuktikan keajaiban beliau sebagai manusia kecintaan Allah.
Ribuan orang menyemut di Ciganjur, selatan Jakarta. Ada yang sengaja datang demi mendengar tausiah. Ada yang berdagang. Ada yang bahkan meyakini betul bahwa Gus Dur masih hidup.
Ya, ini soal daya hidup dan daya mati Gus Dur. Hidup dan matinya dialamatkan demi memberkahi manusia lain.
Seperti Bung Karno, Gus Dur yang lahir dari kalangan Nahdliyin kemudian naik ke pundak garuda, lalu terbang tinggi, tak kembali lagi.
Falsafah Gus Dur
Ketika menemui Alan Greenspan, Gubernur Bank Sentral AS, Gubernur Bank Indonesia Sjahril Sabirin bertanya, kenapa ekonomi Amerika bisa begitu kuat ketimbang Indonesia.
Greenspan pun menjawab sambil berseloroh. "Di Amerika kami punya Johnny Cash (penyanyi ternama dari Las Vegas), Bob Hope (komedian terkenal), dan Stevie Wonder (penyanyi kulit hitam yang fenomenal). Namun, Tuan Sjahril, di Indonesia kalian tidak punya cash (uang tunai), tak punya hope (harapan), dan tidak memiliki wonder (keajaiban)!" jawab Greenspan dengan mimik serius.