JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Utama PT Merial Esa Indonesia (MEI) Fahmi Dharmawansyah mengaku tidak berniat mengajukan diri menjadi Justice Collaborator (JC) dalam kasus dugaan suap di Badan Keamanan Laut (Bakamla).
Hal itu disampaikan Fahmi usai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka. "Enggak ada (Justice Collaborator), enggak ada gitu-gituan," kata Fahmi di gedung KPK, Jakarta, Selasa (27/12/2016).
Fahmi mengaku telah menjelaskan perkara dugaan kasus suap proyek pengadaan alat monitoring satelit di Bakamla kepada penyidik KPK. Ia berharap KPK bekerja dengan semestinya.
"Saya mau bantu Bakamla walaupun anggarannya dikurangi. Ini ujian buat saya," ujar Fahmi.
(Baca: Ungkap Korupsi Bakamla, KPK Intensif Berkoordinasi dengan TNI)
Selain Fahmi, KPK juga meminta keterangan dari pihak swasta Erwin S Arif. Erwin diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Eko Susilo Hadi.
Fahmi ditetapkan sebagai salah satu tersangka penyuap pejabat Badan Keamanan Laut (Bakamla) Eko Susilo Hadi.
Namun, saat operasi tangkap tangan dilakukan, Fahmi tengah berada di Belanda untuk menjalani pengobatan.
Fahmi kembali ke Indonesia setelah mendapat kabar bahwa dirinya ditetapkan sebagai tersangka.
Fahmi dan dua pegawainya, Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus, diduga memberikan suap sebesar Rp 2 miliar kepada Eko Hadi Susilo yang merupakan Deputi Informasi, Hukum dan Kerja Sama Bakamla.
Menurut Ketua KPK Agus Rahardjo, uang Rp 2 miliar yang ditemukan petugas KPK diduga terkait pengadaan alat monitoring satelit di Bakamla.
(Baca: Penyuap Pejabat Bakamla Tak Ingin Disebut Buronan KPK)
Anggaran proyek senilai Rp 200 miliar itu berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016.
Dalam kasus ini, Eko Susilo merupakan pelaksana tugas Sekretaris Utama Bakamla, yang diberikan kewenangan sebagai kuasa pengguna anggaran.
Setelah ditetapkan sebagai tersangka, Eko Susilo, Adami Okta dan Hardy telah ditahanan untuk kepentingan penyidikan KPK.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.