JAKARTA, KOMPAS.com — Almarhum Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur, dianggap sebagai pemikir yang melampaui zamannya.
Buah pemikiran Gus Dur pada masa lalu dinilai tetap relevan, bahkan jika dikaitkan dengan konteks kehidupan saat ini dan nanti.
Begitulah sosok Gus Dur di mata penyair Joko Pinurbo. Pria yang akrab disapa Jokpin ini mengungkapkan salah satu pemikiran Gus Dur yang kontekstual, yakni tentang perbuatan baik yang tanpa "pandang bulu".
Ia menjelaskan, seseorang yang ingin berbuat baik tidak perlu berpikir jauh mengenai latar belakang orang lain yang ingin dikasihinya itu, baik agama atau suku.
Begitu pula sebaliknya, seseorang yang menerima kasih sayang orang lain sedianya tidak membatasi diri bahwa kebaikan hanya boleh diterimanya jika diberikan oleh seseorang yang berlatar belakang yang sama dengan dirinya, baik agama atau suku.
"Saya ingat catatan dia yang sering dikutip, kalau kita berbuat baik kepada sesama, orang tidak perlu tahu dan enggak perlu bertanya agama kita itu apa, dan semestinya begitu," ujar Jokpin ditemui usai haul ke-7 Gus Dur di Kompleks Pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan, Jumat (23/12/2016) lalu.
Lebih jauh, menurut Jokpin, pemikiran Gus Dur itu menyiratkan sikap toleransi. Sikap ini tentu bisa dijadikan pegangan untuk menuju masyarakat yang damai, apalagi jika dikaitkan dengan negara Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku dan agama di dalamnya.
"Jadi, seakan-akan seluruh agama, suku, tercakup dalam pemikiran Gus Dur. Walaupun dia seorang kiai, seorang ulama Islam, pemikiran keagamaan dia itu mewadahi seluruh agama apa pun," ujarnya.
Catatan Redaksi:
Dalam rangka mengenang wafatnya Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid pada 30 Desember 2009, Redaksi Kompas.com akan menghadirkan sejumlah tulisan mengenai tokoh yang akrab disapa Gus Dur itu.
Pemikiran Gus Dur yang terbuka dan toleran diharap menghadirkan semangat persatuan bagi bangsa Indonesia.