JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan seseorang yang dilepaskan saat operasi tangkap tangan terhadap pejabat Badan Keamanan Laut bukan oknum TNI. Pria yang dimaksud yakni pegawai PT Melati Technofo Indonesia berinisial DSR.
"DSR itu saksi, dan sepengetahuan kami belum ada oknum TNI yang diproses," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK Jakarta, Jumat (16/12/2016).
Menurut Febri, setelah penangkapan, penyidik KPK melakukan pemeriksaan dan menguji ulang apakah orang-orang yang ditangkap tersebut cukup memenuhi unsur-unsur dalam pasal suap.
(Baca: Oknum Tentara Diduga Terlibat Korupsi, KPK Berkoordinasi dengan POM TNI)
Setelah dilakukan pemeriksaan dan gelar perkara, DSR tetap berstatus sebagai saksi. Sementara tiga orang lainnya yang ditangkap kemudian ditetapkan sebagai tersangka.
"Kalau tidak cukup, tentu tidak bisa ditindaklanjuti sebagai tersangka. Ada syarat untuk membuktikan apakah ada kerja sama dan segala macamnya," kata Febri.
Sebelumnya, KPK menetapkan Deputi Informasi, Hukum, dan Kerja Sama Badan Keamanan Laut (Bakamla) Eko Susilo Hadi sebagai tersangka. Selain itu, KPK juga menetapkan tiga pengusaha sebagai tersangka.
Ketiga pengusaha yang ditetapkan sebagai tersangka adalah Direktur PT MTI Fahmi Darmawansyah, serta dua pegawai PT MTI, yaitu Hardy Stefanus dan Muhammad Adami Okta.
(Baca: Satu Tersangka Penyuap Pejabat Bakamla Berada di Luar Negeri)
Ketiga tersangka ditangkap saat petugas KPK menggelar operasi tangkap tangan pada Rabu (14/12/2016). Eko Susilo ditangkap di Kantor Bakamla, Jakarta Pusat.
Menurut Ketua KPK Agus Rahardjo, penangkapan dilakukan setelah terjadi penyerahan uang Rp 2 miliar kepada Eko Susilo. Suap tersebut terkait proyek pengadaan alat monitoring satelit di Bakamla.
Diduga, kasus tersebut juga melibatkan pejabat Bakamla yang merupakan oknum TNI. Untuk itu, KPK telah berkoordinasi dengan POM TNI.