Ruang publik kita sedang ramai memperdebatkan soal dugaan tindak pidana penodaan agama dan makar.
Muncul pertanyaan kenapa lama menetapkan tersangka? Kenapa tidak ada penahanan di kasus penodaan agama? Padahal dalam kasus makar, ada tersangka yang ditahan? Mengapa demikian?
Catatan kamisan kali ini mencoba menjawabnya. Saya tidak akan membahas detail kedua jenis kasus pidana tersebut, tetapi ingin berbagi hal lebih mendasar terkait konsep hukum, hukuman hingga perlindungan hak asasi manusia (HAM), sebagaimana judul catatan minggu ini.
Karena, konsep kehati-hatian penghukuman dan perlindungan HAM itulah yang menjadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tarik-menarik antara penerapan hukum pidana di satu sisi dan perlindungan HAM di sisi yang lain itulah yang terus menghangatkan perjalanan suatu kasus pidana dalam praktiknya.
Hukum adalah aturan hidup mulai level diri sendiri, keluarga, masyarakat, bernegara hingga dalam relasi dunia antar bangsa.
Salah satu ciri utama hukum, yang membedakannya dengan norma moral dan sopan santun adalah adanya hukuman alias sanksi yang bisa dijatuhkan kepada pelanggar hukum.
Dalam pelanggaran moral dan sopan santun, sanksinya tidak konkrit. Tidak demikian halnya dengan pelanggaran hukum yang jenis sanksinya beragam, dari hukuman administratif, perdata hingga pemidanaan.
Sanksi pidana dapat berupa kurungan badan (penjara), denda, pencabutan hak bernegara dan kerja sosial. Hukuman paling berat—dan karenanya paling kontroversial—adalah hukuman mati.
Karena hukumannya yang berat, hingga hukuman mati demikian, maka sanksi pidana sifatnya adalah ultimum remedium. Artinya pemidanaan sebaiknya hanya diterapkan untuk mengembalikan neraca keadilan dan ketertiban masyarakat jika (dan hanya jika) hukuman administratif atau perdata sudah tidak lagi memadai sebagai sanksi kepada pelaku pelanggaran.
Sanksi pidana adalah jalan terakhir, dan hanya dikeluarkan sebagai senjata pamungkas.
Mengapa demikian? Salah satunya karena proses hukum acara pidananya dan ujung penghukumannya berpotensi bertentangan dengan perlindungan HAM.
Dalam hal kasus pidana, seorang terdakwa akan berhadapan dengan negara sebagai penuntut, yang diwakili oleh Jaksa. Sebelumnya, dalam proses penyelidikan hingga penyidikan tersangka kemungkinan akan ditangkap, digeledah dan ditahan.
Semua upaya paksa itu dalam kondisi normal menabrak hak asasi warga negara untuk mendapatkan hidup tenang, memiliki privasi dan bergerak bebas. Semuanya terbatasi dan “dilanggar” karena upaya hukum pidana yang sifatnya memaksa.
Oleh karena itulah, agar seorang warga negara dapat memberikan pembelaan yang memadai di hadapan proses hukum, dia wajib didampingi oleh advokat, yang jika dia sendiri tidak dapat memenuhinya—misalnya karena alasan kemampuan ekonomi—maka negara wajib menyediakannya.
Kewajiban demikian diatur dalam pasal 56 KUHAP, yang mengharuskan negara menunjuk pembela untuk terdakwa dengan ancaman penjara lebih dari lima tahun.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.