JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol Agung Setya mengatakan, revisi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengatur soal pengurangan durasi hukuman penjara terkait pencemaran nama baik, penghinaan, dan sebagainya dikurangi menjadi di bawah lima tahun.
Dengan demikian, tak ada kewajiban bagi penyidik untuk melakukan penahanan karena hukumannya ringan.
Agung mengatakan, penyidik tak khawatir karena tidak bisa langsung melakukan penahanan terhadap pelaku.
Penahanan bukan tujuan polisi dalam melakukan proses hukum.
"Jadi kalau pencemaran nama baik tidak perlu ditahan, pertemukan dulu dengan korban," ujar Agung, saat ditemui di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (29/11/2016).
Agung mengatakan, undang-undang ini mendorong peradaban baru bagi penegakan hukum dalam kaitannya dengan ITE.
Jadi, kurungan di balik jeruji bukan satu-satunya jalan penyelesaian.
Akan lebih baik jika ada mediasi antara pelaku dengan korban untuk mencari titik temu dari permasalahan mereka.
(Baca: Polri: Revisi UU ITE Dorong Masyarakat Lebih Beradab di Media Sosial)
Ia mencontohkan penyebaran hate speech atau ujaran kebencian.
Proses hukum yang dilakukan yakni mencari pelakunya, korbannya, kemudian dipertemukan.
"Setelah ada titik temu, minta maaf segala macam, lalu janji tidak mengulangi lagi, konten di Facebook dicopot. Tapi kalau tidak ketemu, ya dibawa ke pengadilan," kata Agung.
Menurut Agung, tindakan penahanan bukan sekadar untuk menimbulkan efek jera, melainkan bagian dari upaya untuk memastikan proses penyidikan berjalan baik.
Penahanan hanya wajib dilakukan jika memenuhi syarat subjektif dan objektif penyidik, tak bisa dipaksakan.
Agung mengatakan, penyelesaian masalah bagi pelaku yakni saat dia jera dan tak melakukan kesalahan itu lagi.